Mengenal Sindrom Kaki Gelisah yang dapat Merusak Kualitas Istirahat Anda


Inilah salah satu bentuk gangguan tidur yang belum banyak disadari. Kenali seluk-beluk sindrom yang dapat merusak kualitas istirahat Anda.

Ya, restless leg syndrome atau sindrom kaki gelisah adalah jenis gangguan tidur yang ditandai dengan kondisi sulit tidur lantaran gerakan kaki yang cukup mengganggu.

Menurut penjelasan Dr. Andreas Prasadja RPSGT, dari Snoring Sleep Disorder Clinic, secara umum pasien mengeluh tidak bisa tidur karena rasa tidak nyaman pada kaki. Sayangnya, rasa tidak nyaman ini sering kali tidak bisa diungkapkan dengan jelas karena memang sangat bervariasi.

Ada yang merasa kesemutan, ngilu, pegal, dan ada pula yang merasakan sensasi panas atau dingin. Uniknya, sensasi tidak nyaman tersebut hanya muncul saat diam dan hendak tidur di malam hari, dan hanya bisa hilang saat kaki terus digerak-gerakkan.

"Biasanya, pasien mencoba berbagai cara untuk mengatasinya, dari memijat-mijat kaki, memakai kaus kaki ketat, sampai merendam kaki dalam air panas," ungkap Dr. Andreas.

Penjelasan senada mengenai restless leg syndrome (RLS) dipaparkan oleh Dr. Rimawati Tedjasukmana, Sp.S, RPSGT, dari RS Medistra.

Menurut Dr. Rima, sindrom ini ditandai dengan rasa tidak enak di tungkai, atau bisa pula di anggota tubuh lain. Sindrom ini muncul saat tubuh dalam posisi istirahat dan di malam hari, terutama menjelang tidur sehingga mengganggu kualitas tidur.

"Salah satu pasien saya datang dengan keluhan tidak bisa tidur selama tiga hari terakhir. Kalau mau tidur, harus 'pencak silat' dulu, kakinya mesti digerak-gerakkan dulu agar terasa lebih nyaman," tutur Dr. Rima.

Penyebab pasti RLS belum diketahui, tapi pada dasarnya ia dipicu oleh kekurangan dopamin, suatu zat kimia di otak. Sumber dopamin adalah zat besi, karena itu sering kekurangan zat besi memicu kekurangan dopamin yang lantas mengakibatkan RLS.

"Beberapa orang yang kekurangan darah, misalnya habis operasi, diketahui mengalami RLS. Begitu pula pasien diabetes, gagal ginjal, dan anemia," tandas Dr. Rima.

Dr. Andreas mengungkap bahwa RLS juga bisa menyerang remaja wanita yang mulai menstruasi, yang kembali menunjukkan bahwa ia dipicu oleh anemia.

Apa saja sih gejala khasnya?

Menurut Dr. Andreas, RLS mudah dikenali, sehingga diagnosis pun relatif mudah ditegakkan. Biasanya, RLS disertai dengan Periodic Leg Movement Disorder in Sleep (PLMS), yaitu kaki digoyang lalu diam, 10 detik kemudian, bergerak-gerak lagi. Terjadinya bukan saat mau tidur, tapi sudah dalam keadaan tidur.

"Di sinilah bedanya RLS dan PLMS. RLS membuat kita sulit tidur, sedangkan PLMS muncul saat kita sudah tidur tapi kualitas tidur buruk. Setiap kali kaki bergerak, otak pun kaget dan terbangun. Ini masalahnya ada pada saraf kaki," papar Dr. Andreas.

"Sayangnya, karena gerakan tersebut terjadi saat waktu tidur, maka ia sering dianggap sebagai kebiasaan seseorang menjelang tidur. Namun, hal ini semakin lama semakin parah dan mengganggu tidur. Pasien harus menggesek-gesek kaki dulu baru bisa tidur," lanjutnya.

Area gangguan sendiri bisa bervariasi, mulai dari telapak kaki, betis, lutut, sampai paha. Pada umumnya, area yang terpengaruh adalah lutut ke bawah, termasuk tungkai. Namun, ada pula jurnal yang mengatakan RLS bisa menyerang anggota tubuh lain.

Dr. Rima menyebutkan bahwa umumnya gerakan kaki gelisah cukup khas. Misalnya, cuma jari kaki dan kaki, lalu naik ke atas. Hanya beberapa detik, tapi berulang. Setelah 10-90 detik, akan berulang lagi. Gerakannya tidak terlalu kuat, tapi sering membuat seseorang terjaga.

Dr. Rima mengatakan, pengobatan RLS tidak terlalu sulit. Prevalensinya pun tidak terlalu banyak.

Menurut Dr. Andreas, terapi RLS harus dengan obat yang bekerja langsung ke saraf kaki, berbeda dengan obat tidur atau obat penenang. Obat diminum untuk jangka panjang dan harus dalam kontrol dokter. Setelah pasien merasa lebih baik, obat harus dihentikan.

Kabar baiknya, RLS tidak menjalar ke organ tubuh lain, meskipun penelitian menunjukkan bahwa RLS dapat memicu risiko kesehatan besar bagi lansia yang mengalami Parkinson dan Alzheimer.

Sementara itu, jika RLS ditemukan pada usia muda atau usia produktif, maka pasien akan diberi suplemen yang bermanfaat untuk menjaga fungsi-fungsi saraf. Selain itu, sejumlah pasien mungkin bisa merasa lebih nyaman dengan pijat atau merendam kaki dengan air hangat sebelum tidur.

Yang pasti, kedua pakar ini mengingatkan bahwa jika RLS tidak diatasi, maka dampaknya jelas akan menggangu kualitas tidur atau menimbulkan insomnia. Bahkan, lebih jauh lagi, ia dapat berujung pada gangguan jantung dan stroke.

"Jangankan masyarakat, dokter saja belum banyak yang menyadari bahwa RLS adalah suatu penyakit dan bisa diatasi dengan obat tertentu. Namun, selama tidak menggangu tidur, maka tidak perlu diobati," tandas Dr. Rima.

"Sebaiknya, jika RLS sampai mengganggu tidur atau pasien menjadi tidak bisa tidur, maka ia harus diobati karena sudah masuk dalam area gangguan, bukan lagi kebiasaan semata," tegasnya.

Pada intinya, karena RLS memengaruhi tidur, ia berisiko menurunkan kualitas hidup, serta mengganggu keselamatan dan kesehatan.

Gangguan kualitas tidur, seperti diperingatkan Dr. Andreas, bisa merusak banyak hal, dari kemampuan otak, konsentrasi, performa, daya ingat, emosi, sampai kreativitas. Stres oksidatif juga mengakibatkan sel-sel inflamasi naik, kulit menjadi kusam, gula darah naik, tekanan darah naik, dan banyak lagi.

Begitu juga keselamatan saat mengemudikan kendaraan dalam kondisi mengantuk, yang berbahaya dari mabuk. Akan sangat berbahaya pula bila individu dengan gangguan kualitas tidur tersebut bekerja mengoperasikan alat berat atau mengatur lalu lintas udara.

"Gangguan-gangguan tidur ini belum banyak diperhatikan, padahal kita bisa mencegah berbagai penyakit dan meningkatkan produktivitas. Dengan memperhatikan kesehatan tidur, pada saat yang sama kita justru meningkatkan produktivitas dan performa," tandas Dr. Andreas.


Kurang Tidur dan Risiko Alzheimer

Kualitas tidur yang buruk, gangguan tidur, dan mengantuk di siang hari ditemukan memiliki kaitan dengan peningkatan cairan tulang belakang yang menjadi indikator Alzheimer, ungkap studi terbaru yang dilaporkan di dalam jurnal Neurology.
Penelitian yang melibatkan 101 partisipan dengan usia rata-rata 63 tahun tersebut menganalisis kebiasaan tidur dan sampel cairan tulang belakang partisipan untuk melihat keberadaan plak dan kekusutan yang menjadi ciri khas Alzheimer.
Alasan di balik kaitan ini belum jelas, tapi sebuah studi terhadap hewan mendapati bahwa saat tidur, terjadi peningkatan kapasitas otak untuk membersihkan toksin - seperti beta amyloid, protein yang membentuk plak di dalam otak penderita Alzheimer. Kualitas tidur yang buruk diduga merusak proses pembersihan ini, termasuk pada manusia.
Meski begitu, Barbara B. Bendlin, peneliti studi dari School of Medicine and Public Health, University of Wisconsin, menegaskan bahwa tidak semua orang dengan gangguan tidur akan memiliki Alzheimer, karena tidak semua partisipan dalam kelompok studi menunjukkan kaitan yang sama.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Wanita Juga Bisa Kena Kanker Prostat

Polip Hidung Mengganggu Pernafasan dan Penciuman

Komunitas IndoRunners Membawa Virus Lari ke Masyarakat

Ada Pelangi Sehabis Hujan