Boy Saat ini Pasti Bahagia, dan Aku Ikut Merasa Bahagia



"Gitar itu dijual, ya?" ia bertanya sambil menunjuk gitar merah yang berdiri tegak terpajang di sudut dekat lemari.

Toko Ayah memang khusus menjual peralatan musik.

"Iya. Memang kenapa? Lo bisa mainin gitar? " ucapku dengan antusias.

"Bisa sedikit-sedikit. Dulu pernah belajar."

"Boleh gue coba gitarnya?"

"Boleh. Silakan saja. Asal jangan tergores atau senar putus, ya. Soalnya ini barang jualan," jelasku.

"Tenang saja." Lelaki itu meraih gitar merah dari pajangan dan mulai memainkan instrumen tersebut dengan petikan seperti seorang profesional. Setelah puas, dia letakkan lagi di tempat semula. Oh Tuhan, petikan gitarnya membuat bulu kudukku merinding.

"Oiya, ada es batu?"

"Ada. Buat apa?" jawabku penasaran dengan permintaannya.

"Ini buat mengompres luka gue. Lumayan ngilu, nih," ujarnya sambil meringis, memegang sudut bibirnya yang mulai membiru.

"Oke. Tunggu sebentar, ya."

Aku memanggil Wenny, karyawan Ayah, untuk menggantikanku jaga. Aku bergegas masuk untuk mencari es batu. Aku memeriksa di kotak obat untuk mencari obat penghilang nyeri yang masih tersisa. Selang beberapa menit, semua yang kubutuhkan sudah kudapat 

"Nama lo siapa? Gue Suciwati Lestari. Lo boleh panggil gue Suci."

"Gue Boy. Boy Prayogo."

Kami berjabat tangan, lalu aku memberinya es batu.

"Minum obat penghilang nyeri ini. Tadi kebetulan di kotak obat masih ada." Aku mengarahkannya pada obat yang ada di tanganku dan air mineral yang ada di dekat meja resepsionis.

Ingatanku melayang ke beberapa hari yang lalu.

Ketika itu, Ayah memintaku membantunya di toko. Aku melihat tubuh itu terbaring lemah dengan muka penuh lebam di depan toko Ayah. Dia berusaha berdiri sambil memegangi luka yang sepertinya mulai bengkak.

Tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mataku yang memang sedang menatapnya. Dia tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi. Aku terpana. Tanpa sadar, aku membalas senyumnya.

Dan sekarang, dia ada di sini. Berbicara denganku. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengamati lelaki itu yang sedang mengobati lukanya.

"Makasih ya, Ci. Ini kantong es dan obatnya. Gue kira lo bakalan ngusir gue. Terus terang tadi gue agak takut juga pas mau masuk kemari."

"Selama lo bersikap baik dan nggak ngacak-ngacak toko ini, gue masih bisa sopan." Aku menatapnya sambil mengedipkan sebelah mataku, menandakan bahwa aku bercanda.

"Hahaha... nggaklah, Ci. Walaupun gue berandalan gini, toko bakalan gue jagain kok. Soalnya gue suka toko ini. Banyak alat musik. Terutama gitar. Alat musik favorit gue." Boy menjelaskan dengan mata yang berbinar-binar. Aku hanya tersenyum memandangnya.

"Oiya... gue pulang dulu, ya. Sekali lagi makasih udah ngerepotin tadi. Daah... Ci." Boy melangkah ke arah pintu keluar sambil melambaikan tangannya. Aku pun tersenyum dan membalas lambaian tangannya.

Itu adalah pertemuan pertama kami. Ada sesuatu yang kurasakan tentang Boy. Dengan hanya menatap mata hitam yang tajam itu, aku merasa ada kehangatan di sana. 

Angin dingin malam menerpa wajahku. Aku merapatkan sweater biru tua yang kukenakan untuk mengurangi hawa dingin yang mulai merasuk ke tulang.

Sepertinya akan hujan. Bulan terlihat muram malam ini. Terlihat syahdu. Aku memandang ke luar jendela. Terlihat lalu-lalang mobil, motor, dan orang-orang yang berlomba menerjang padatnya kemacetan di kota Jakarta. Berusaha segera sampai di tujuan masing-masing.

Aku menunggu di perpustakaan kampus. Menunggu redanya kemacetan. Aku tidak ingin terjebak macet di jalan terlalu lama.

Ayah menelepon, memintaku untuk membantunya di toko. Beliau akan meeting dengan pihak yang akan mensponsori workshop musik di toko kami.

Aku menyanggupinya, dengan catatan setelah pulang kuliah. Berharap juga semoga aku bisa bertemu Boy lagi. Entahlah, aku penasaran dengan kisah hidupnya.

"Gue sebenarnya kabur dari rumah. Di sana seperti neraka. Papa dan Mama hampir tiap hari bertengkar. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Terkadang masalah sepele bisa jadi ribut besar. Kuliah gue berantakan. Nilai-nilai gue turun drastis," Boy menceritakan kisah hidupnya dengan agak canggung.

"Gue susah konsentrasi dengan adanya teriakan-teriakan dari pertengkaran itu. Hingga pada satu titik, gue mulai jenuh dan ingin perubahan. Tahu-tahu gue sudah ada di sini, di jalanan." 

"Kenapa nggak coba ajak bicara Mama lo dulu? Siapa tahu ada yang bisa diperbaiki. Lo hanya perlu mendengarkan." 

"Hubungan gue dan Mama nggak bisa dibilang baik. Dia adalah wanita yang perfeksionis. Apa pun yang gue lakukan di matanya selalu salah. Itulah salah satu alasannya. Sudah satu bulan, rasanya gue mulai merindukan mereka. Tapi gue takut balik ke rumah itu."

"Seburuk apa pun hubungan sama Mama lo, setidaknya harus ada yang mengalah. Langkah awal memang selalu sulit. Tapi setidaknya lo udah berusaha, nggak lari dari rumah kayak gini. Ini mah kekanak-kanakan. Orangtua lo pasti khawatir."

Matanya menerawang, memandang jajaran awan sore yang terlihat indah di balkon toko. Aku tahu Boy mulai memikirkan perkataanku.

"Menurut gue, lo harus mengalah dulu. Kesampingkan ego lo dulu. Kali aja dari situ lo bisa tahu apa sih penyebab Mama lo bertengkar terus," lanjutku.

"Lo harus bersyukur masih diberikan orangtua yang masih hidup. Sedangkan gue, Mama meninggal ketika gue masih kecil. Pas gue umur lima tahun."

Aku meraih gelas jusku. Meminum isinya untuk menutupi kecangggunganku. Boy memandangku dengan tatapan hangatnya. Bahkan, kami terdiam beberapa menit.

"Maaf ya, Ci. Gue mengingatkan lo sama mendiang Mama lo..."

"Nggak apa. Sekarang gue udah ikhlas, kok. Kalau gue rindu Mama, biasanya gue pergi ke makamnya. Selain mendoakan Mama, gue juga menceritakan apa pun yang menjadi beban di hati gue. Setelah itu rasanya hati ini lega. Terkadang, gue merasa Mama masih ada di samping gue."

Boy tersenyum. Tampaknya ia terharu mendengar ceritaku.

Tak terasa sudah dua minggu berselang sejak pertemuanku dengan Boy di balkon.

Aku masih suka mencuri pandang ke jalanan dekat toko Ayah. Mencari-cari sosok Boy. Aku ingin mencari tahu bagaimana keadaannya.

Hari Minggu, toko kami lumayan ramai. Kebetulan workshop musik yang dibuat oleh Ayah banyak peminatnya. Seluruh karyawan, termasuk aku, ikut membantu mempersiapkan peralatan dan ruangan. Saking sibuknya, aku tidak menyadari bahwa salah satu peserta workshop adalah Boy.

Dia tersenyum. Hampir saja aku tidak mengenalinya. Penampilannya benar-benar berubah. Lebih terawat.

"Hai... Ci. Lama nggak ketemu."

"Eh... Boy. Duh... lama nggak ketemu, berubah ya penampilan lo. Jadi makin yahud. Hahaha." Candaanku membuat senyumnya makin melebar, memperlihatkan lesung pipit yang selama ini tersembunyi.

"Hehehe... bisa aja lo, Ci. Lo juga kok nggak berubah, ya. Masih manis kayak dulu." Kami pun tertawa berbarengan.

"Gimana kabar keluarga Lo, Boy?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Baik. Gue udah bicara dengan orangtua gue. Mama menangis mendengar tentang stresnya gue di rumah. Papa juga merasa bersalah. Mereka berjanji akan membereskan semuanya dan meminta gue agar jangan kabur dari rumah lagi. Makasih ya, udah ngajarin gue untuk jadi lebih dewasa."

"Sama-sama. No problem"

Tanpa dikomando, kami tertawa karena merasa pembicaraan kami formal sekali. Aku mengajaknya masuk ke ruang workshop karena sesi pertama akan dimulai. Boy saat ini pasti bahagia, dan aku ikut merasa bahagia.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Wanita Juga Bisa Kena Kanker Prostat

Polip Hidung Mengganggu Pernafasan dan Penciuman

Komunitas IndoRunners Membawa Virus Lari ke Masyarakat

Pemanis Buatan Sama Berbahayanya Dengan Pemanis Alami

Mengenal Buah Badam/Almond