Ayo Para Milenial Tingkatkanlah Literasi Keuanganmu!

Wahai para milenial, waktunya menjadi generasi yang cerdas finansial. Simak kiat dari para perencana keuangan agar milenial punya finansial yang sehat.

Saat ini, bukan lagi punya rumah yang bikin bangga, melainkan gadget termutakhir yang dibawa saat berjumpa kolega. Ya, itulah salah satu perbedaan generasi dulu dan generasi milenial.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, gaya hidup generasi milenial memang tampak lebih banyak hura-hura. Mereka suka menghabiskan waktu di kafe atau tempat hangout lain, meski mungkin tujuannya adalah bekerja.

Menurut Aidil Akbar Majid, MBA, MNLP, CBA, perbedaan mendasar terletak pada keberanian generasi milenial untuk bersikap.

"Bisa dibilang, generasi milenial adalah generasi yang tidak takut untuk mengambil langkah, tidak takut bahwa besok dia tidak akan makan. Akibatnya, cara pandang mereka terhadap uang juga berbeda," tegas financial planner sekaligus CEO AAM & Associates ini.

"Bagi generasi milenial, tidak punya uang tidak masalah. Yang penting, mereka sudah melakukan sesuatu, misalnya traveling. Itu sebabnya, mereka tampak lebih boros dan lebih suka jalan dan bersenang-senang," papar perencana keuangan senior ini.

Sementara itu, Mike Rini, CFP, founder Mitra Rencana Edukasi, menilai bahwa generasi milenial biasanya memiliki kesadaran investasi, namun mereka juga tetap ingin menjaga gaya hidup mereka.

"Generasi milenial cenderung social media minded, dan mereka adalah pengguna teknologi informasi tertinggi dan penikmat berbagai fasilitas e-commerces , sehingga mereka juga cenderung konsumtif," ujar Mike.

Aidil membagi milenial ke dalam dua kategori, yaitu technology-minded dan konservatif. Menurutnya, kelompok pertama cenderung konsumtif, lebih suka traveling dan memburu pengalaman, menghamburkan uang, serta mengejar gadget terbaru.

"Sementara itu, milenial konservatif masih family-minded. Mereka rata-rata sudah menikah setelah lulus kuliah, dan sudah bekerja, punya anak, dan lebih cepat mapan dibandingkan orangtuanya," ujar Aidil.

Kedua pakar ini memaparkan sejumlah problem keuangan yang kerap menerpa generasi milenial.

"Problem keuangan yang sering kali mereka hadapi antara lain adalah cash flow pribadi, serta bagaimana mereka menyeimbangkan antara kebutuhan investasi dengan keinginan gaya hidup," kata Mike.

Sementara itu, Aidil mengungkap bahwa milenial adalah generasi yang tidak takut tidak dapat uang. Bagi mereka, cari uang tidaklah sulit. Mereka bisa jual apa pun secara online. Banyak pula yang IT minded, karena IT memang sedang naik daun. Di sini, keterampilan sang milenial dibutuhkan dengan bayaran mahal.

"Dengan menulis blog saja mereka bisa dapat uang, pengalaman, makan gratis, dan mencoba barang-barang yang mahal-mahal. Jadi, mereka merasa bahwa apa pun yang mereka lakukan dengan serius dan ada passion di sana, akan menghasilkan uang," papar Aidil.

"Hampir pasti, mereka tidak punya banyak tabungan. Dapat uang lalu dipakai untuk liburan, nanti cari lagi. Prinsipnya: dapat-buang, dapat-buang. Karena mereka cari uangnya gampang, buangnya gampang, saving habit-nya juga rendah," tandas Aidil.

Lebih jauh Aidil mengungkapkan, tren yang ada pada generasi milenial saat ini adalah sharing ekonomi.

Sejumlah pakar memprediksi bahwa generasi milenial akan cenderung tidak butuh aset, terutama kendaraan, karena tersedia jasa transportasi online apalagi ditambah harga bahan bakar, tol, dan parkir yang semakin mahal.

Karena itu , mereka menyimpulkan bahwa lebih praktis naik taksi daripada harus mencicil kendaraan. Ini karena para milenial yang cenderung memilih kepraktisan, asset possession tidak terlalu penting.

Meski begitu, Aidil menegaskan bahwa fenomena ini belum bisa digeneralisasi. Kita perlu melihat lagi dalam 5 tahun ke depan, ketika generasi milenial ini sudah berkeluarga, misalnya. Apakah kebiasaan mereka akan berubah?

Mike menilai bahwa sebagian generasi milenial sebenarnya mengalokasikan penghasilan untuk beragam pos pengeluaran, seperti dana investasi untuk pembelian rumah pertama, liburan atau traveling, membeli mobil, meneruskan pendidikan, atau persiapan menikah.

Kaum milenial yang cenderung ogah terikat tentu perlu strategi pengelolaan keuangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Agar mereka dapat memiliki keuangan yang sehat, kedua pakar ini menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan.

"Pahami bahwa apa pun kondisi mereka, baik yang maupun yang technology minded maupun yang konservatif. Belajarlah tentang bagaimana mengelola keuangan yang baik, belajar bagaimana menabung, dan berinvestasilah sesuai karakter dan kebutuhan. Hal ini penting agar generasi milenial menjadi generasi yang tangguh secara ekonomi bukan generasi keropos yang konsumtif dan tidak punya tabungan apalagi investasi," tukas Aidil.

Lebih jauh Mike mengingatkan pentingnya generasi milenial untuk memiliki kondisi keuangan yang sehat agar bisa mengantisipasi berbagai tantangan ekonomi ke depan yang penuh ketidakpastian. Apalagi seiring kemajuan teknologi yang semakin banyak menggantikan peran manusia.

Hal ini berpengaruh langsung pada kesempatan kerja dan karier. Beberapa profesi dan pekerjaan berisiko hilang. Bahkan, perusahaan yang sudah lama pun terkena dampak persaingan dari kompetitor dengan teknologi yang lebih canggih.

"Downsizing atau PHK bisa menjadi ancaman. Karena itu, para milenial harus memastikan mereka memiliki tabungan cukup dan tingkat utang yang wajar, karena ini akan sangat membantu mereka di masa sulit," tandas Mike.

Selain itu, generasi milenial juga perlu menjaga gaya hidup seimbang.

Maksudnya? Mereka perlu mengetahui cara menikmati standar gaya hidup yang mereka inginkan, namun tetap bisa berinvestasi untuk kebutuhan masa depan. Milenial perlu menjaga tingkat konsumsi yang efisien agar alokasi untuk investasi bisa dioptimalkan.

Yang tak kalah penting, generasi milenial perlu meningkatkan literasi keuangan agar mereka tak menjadi generasi konsumtif, tapi produktif.


Strategi Penting Bagi Milenial
* Gunakan fasilitas autodebet atau autosaving agar terbangun kebiasaan berinvestasi yang disiplin.

* Manfaatkan berbagai sharing-economy platforms - seperti taksi online dan jual-beli barang bekas - untuk memaksimalkan aset menganggur yang dimiliki (rumah, kendaraan, barang yang tak terpakai) untuk menambah pendapatan.

* Gunakan berbagai fasilitas pinjaman seperti kartu kredit dan online payment hanya untuk mendukung kelancaran transaksi dan mengatur cashflow satu bulan, bukan menjadi ulang jangka panjang dengan cicilan yang memberatkan.


Hati Senang Walaupun Tak Punya Uang

Wells Fargo, institusi keuangan internasional yang berbasis di San Francisco, belum lama ini melakukan survei terhadap 1.771 anak muda usia 20-36 tahun untuk melihat persepsi milenial terhadap uang.

Begini profil keuangan para partisipan: 

Sebanyak 26 persen memiliki penghasilan rata-rata 88.000 dollar AS per tahun, sedangkan sisanya, 74 persen, berpenghasilan separuhnya.

Dalam studi yang dilakukan pada pertengahan 2017 tersebut, sepertiga partisipan mengaku puas dengan kondisi finansial mereka. Sementara itu, 62 persen mengaku bahagia; 65 persen bahkan memakai istilah "penuh makna" untuk menggambarkan hidup mereka.

Padahal, separuh partisipan milenial tersebut mengaku berjuang dengan utang yang besar, dan 43 persen mengkhawatirkan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Sekitar 2 dari 3 milenial mengatakan mereka mengandalkan bantuan dari keluarga, teman, atau pasangan.

Namun, para milenial dalam studi ini juga mengaku tidak percaya pada dunia investasi, dan 53 persen mengaku tidak nyaman menginvestasikan uang mereka di pasar saham.

Meski begitu, kegalauan finansial tidak menghalangi milenial untuk menikmati hidup. Nyaris 90 persen partisipan menegaskan bahwa sukses bukan sekedar kemakmuran materi. Yang lebih penting? Cinta dan keluarga.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Ada Pelangi Sehabis Hujan

Komunitas IndoRunners Membawa Virus Lari ke Masyarakat

Waspada Terhadap 6 Penyakit Ini Yang Ditandai Dengan Gejala Meriang

Mengapa Berjejaring itu Penting?

Inilah Kiat-kiat untuk Mengatasi Ketombe