Bentuk Baby Talk Seperti Apa yang Tepat bagi Tumbuh Kembang Bayi?



Mamam. Nyum cucu, yuk. Adik atit, ya? Bukankah terdengar jenaka kala orang dewasa mengajak bicara si mungil dengan gaya seperti ini? Eits, nanti dulu. Dibalik kelucuan tersebut ada potensi buruk bagi tumbuh kembang si kecil.

Siapa yang tak gemas saat melihat bayi mungil? Saking gemasnya, orang dewasa suka mengubah cara bicara mereka menjadi cadel atau kekanak-kanakan saat mencoba berkomunikasi dengan si mungil.

Kebiasaan bicara ala bayi oleh orang dewasa ini dikenal dengan istilah baby talk. Aslinya baby talk adalah bahasa yang digunakan bayi untuk berbicara atau berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.

Baby talk ini bentuknya mulai dari kontak mata, tersenyum, tertawa, beragam bunyi vokal atau cooing, hingga bentuk bahasa pertama yang digunakan oleh seorang anak sebagai respons kepada orang dewasa yang mengajaknya berbicara atau berinteraksi.

Ini adalah cara si bayi belajar berkomunikasi. Nah, yang jadi masalah adalah saat gaya komunikasi bayi ditiru oleh orang dewasa dan dilakukan hampir setiap saat mereka berinteraksi dengan sang bayi. Para psikolog mengingatkan dampak negatifnya terhadap perkembangan anak.

Jadi, bentuk baby talk seperti apa yang tepat bagi tumbuh kembang bayi? "Sejatinya, baby talk dalam arti sesungguhnya perlu dilakukan oleh orang dewasa secara rutin untuk merangsang proses bicara pada bayi," ungkap Gloria Martha Uli Siagian, M.Psi, Psi., CGA, Head of ECY/EL Guidance Counselor Binus School Serpong.

Menurut psikolog yang akrab disapa Anggi ini, penggunaan baby talk biasa dilakukan karena orangtua merasa bayi mereka belum terlalu memahami bahasa orang dewasa yang digunakan. Tujuannya adalah mempermudah anak memahami kata-kata orang dewasa.

Umumnya, baby talk dilakukan dengan cara memotong kata atau menghilangkan huruf-huruf tertentu yang biasanya masih sulit untuk diucapkan oleh seorang anak. Misalnya, "makan" menjadi "mamam".

Secara senada, Anastasia Satriyo M.Psi., Psikolog, dari TigaGenerasi, menyebut baby talk sebagai cara berkomunikasi orangtua atau orang dewasa kepada bayi dengan menggunakan bahasa seperti anak-anak yang belum lancar berbicara.

Contohnya, pada anak yang belum bisa mengucapkan "minum susu", maka orangtua melafalkan kata-kata tersebut sebagai "nyum cucu" sebagai upaya orangtua mengikuti cara bicara anak.

"Biasanya, karena melihat hal ini dilakukan secara turun temurun oleh orang-orang di sekitar, maka para orangtua menganggap penggunaan baby talk sebagai hal yang lumrah, atau bahkan lucu," ujar Anastasia.

Padahal, orangtua perlu membatasi baby talk karena penggunaan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan usia anak dapat memiliki dampak buruk bagi tumbuh kembang si kecil.

Contohnya, Anggi menyayangkan orangtua yang sering mengecilkan makna baby talk menjadi kata-kata dalam bentuk cadel atau kekanak-kanakan yang dilakukan orang dewasa ke anak bayi. Orangtua perlu memahami bahwa pengucapan kata secara benar sangat diperlukan agar anak bisa belajar pengucapan kata yang tepat.

"Orangtua harus menyadari bahwa meniru cara anak atau bayi yang belum lancar bicara tidak membuat anak belajar menyebut kata dengan artikulasi yang tepat. Selama orangtua sadar akan dampaknya dan tidak bingung jika nanti anaknya jadi cadel, risiko silakan ditanggung orangtua sendiri," tandas Anastasia.

Misalnya, ketika anak menyebut "meja" dengan "eja", lalu kita malah menirunya dengan juga memakai lafal "eja" maka anak berpikir bahwa menyebut benda tersebut dengan "eja" adalah cara yang tepat.

Karena itu, para psikolog ini mengingatkan agar gaya bicara kekanakan digunakan sebelum anak mulai mengeluarkan kata pertama. "Lakukan baby talk saat anak masih umur 3-4 bulan saja. Selanjutnya, anak sudah harus dikenalkan dengan pengucapan yang sebenarnya," tegas Anggi.

Alih-alih baby talk, bagaimanakah cara berkomunikasi yang tepat dengan bayi?

Sebaliknya gunakan bahasa sehari-hari. Ini akan membantu anak memiliki kosakata yang tepat untuk setiap hal, sehingga saat ia kelak berinteraksi dengan orang lain, anak tidak merasa kesulitan karena perbedaan kosakata," kata Anggi.

Jika bayi masih berada pada tahap cooing, Anda boleh-boleh saja menirukan dengan juga melakukan echoing (oooo, uuuu) atau babbling (bababa, mamama, papapa). Namun, saat bayi sudah atau sedang mulai belajar kata-kata pertama, pakailah bahasa atau kosakata yang sebenarnya.

Misalnya: "Mau makan ya, Nak?" lalu katakan kembali "makan" sambil menunjukkan bahasa tubuh yang tepat (menyuapkan makanan ke dalam mulut anak). Menurut Anggi, bahasa kata yang dipadu dengan bahasa tubuh yang tepat akan sangat memperkaya kosakata anak.

Sementara itu, Anastasia menyarankan agar orangtua menggunakan ekspresi wajah dan intonasi suara yang variatif, karena anak menangkap makna dari intonasi bicara. Jika intonasi dan ekspresi wajah orangtua datar, maka bayi akan lebih sulit untuk menangkap maksud mereka. Biasanya, jika bayi masih lebih kecil, pakailah suara high pitch dengan ritme bicara yang lebih lambat.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan orangtua untuk merangsang perkembangan bicara anak.

Misalnya, orangtua dapat mengkomunikasikan apa yang ia lakukan kepada anak dengan menceritakan apa yang dilihat, dirasa, dipegang, dan didengar. Seorang ibu bisa mengganti pakaian bayinya disertai ujaran, "Halo, Dek. Mama lagi pakaikan Adek baju, nih. Bajunya warna putih. Harum deh karena habis dicuci".

Dengan begini, orangtua menambahkan perbendaharaan kosakata kedalam otak anak sebelum anak mulai bisa berbicara. Kelak, ketika organ bicara anak siap di usia 8 bulan keatas, anak akan menggunakan kata-kata yang sudah sering ia dengar dari orangtuanya untuk berkomunikasi.

"Perlu diketahui bahwa pada usia 2 tahun, seharusnya anak sudah menguasai 20 kata, menunjuk dan berkomunikasi ketika ingin sesuatu dengan gerakan tangan atau dengan dua kata, seperti 'Adek haus'", tegas Anastasia.

Lebih jauh, Anggi menyarankan agar orangtua jangan terbiasa untuk langsung memberikan hal yang diminta anak tanpa ada usaha bicara dari anak, agar anak terbiasa untuk menggunakan bahasa lisan.

Berbicara dengan pengucapan bahasa yang tepat, lanjut Anggi, akan sangat membantu anak agar bisa dimengerti orang lain, dan kemampuan ini sangat diperlukan untuk anak kelak dapat berinteraksi secara sehat dengan orang lain.

Anastasia mengingatkan bahwa kemampuan bicara adalah sarana untuk berkomunikasi, sehingga yang penting adalah orangtua mendorong keinginan anak untuk berkomunikasi, agar ia mau berusaha untuk bisa dan lancar berbicara.

Untuk mempersiapkan kemampuan komunikasi dengan anak, Anda bisa mulai sejak ia bayi. "Orang dewasa perlu merangsang kemampuan bicara bayi secara rutin, setiap hari, dengan bentuk interaksi yang hangat dan menyenangkan," tandas Anggi.

Keinginan untuk berkomunikasi pada anak akan muncul lewat interaksi dan respons yang hangat dari orangtua, apalagi yang suka menggunakan mimik wajah dan intonasi suara ekspresif sejak anak bangun pagi sampai tidur malam.

"Mulailah kebiasaan baik ini, terutama bagi mereka yang terbiasa menggunakan baby talk sebelumnya. Dengan menyadari dampak buruk baby talk, diharapkan para orangtua akan mulai berkomunikasi lebih baik dengan artikulasi jelas kepada bayi mereka," pungkas Anastasia.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Wanita Juga Bisa Kena Kanker Prostat

Polip Hidung Mengganggu Pernafasan dan Penciuman

Komunitas IndoRunners Membawa Virus Lari ke Masyarakat

Mengenal Sindrom Kaki Gelisah yang dapat Merusak Kualitas Istirahat Anda

Cara yang Benar Dalam Memberikan MPASI Bagi Sang Buah Hati