Awas, Peristiwa Traumatis Bisa Membekas dalam Pikiran Anak!


Dari konflik sosial sampai bencana alam, dari tindak kekerasan sampai hari pertama sekolah, semua bisa memicu trauma psikologis pada si kecil. Ketahui strategi mengatasinya.

Ya, dari hal kecil sampai berat, risiko pemicu trauma pada anak berbeda dari orang dewasa.

Pada anak, trauma tidak hanya dikondisikan dengan situasi yang berat, seperti bencana alam atau tindakan kekerasan, tapi juga oleh pengalaman sederhana. Apa yang tidak dianggap mengancam bagi orang dewasa, bisa membuat anak-anak merasa tidak nyaman.

Ini ditegaskan Cecilia Helmina Erfanie, M.Psi., Psikolog, dari Pion Clinic. Menurutnya, trauma pada anak adalah kondisi mengancam yang dialami anak dan membuatnya merasa tidak nyaman, sehingga ia enggan mengulangi hal tersebut, bahkan menghindari.

Jika trauma fisik disebabkan oleh kecelakaan atau pemukulan, maka trauma psikis disebabkan oleh kejadian yang melukai batin dan melibatkan perasaan anak. Contoh: dibandingkan, diejek, dicaci maki, dan diberi label tertentu (misalnya "si gendut").

"Saat ini, banyak kasus yang menimpa anak, khususnya yang tinggal di kota-kota besar, yang banyak memberikan tantangan hidup yang lebih berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya," papar Cecilia.

Cecilia mencatat sejumlah kasus yang marak sekarang ini, seperti keberadaan kelompok populer dan tidak populer dalam pergaulan di sekolah, perilaku bullying di lingkungan sosial, pelecehan seksual pada anak, serta cyber crime melalui media sosial.

Dengan sejumlah risiko trauma di era modern ini, orangtua dan pendidik harus memahami gejala perilaku yang ditunjukkan oleh anak.

Nathanael E.J. Sumampauw M.Psi, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa tidak semua anak menunjukkan perilaku yang sama dalam menghadapi kejadian traumatis.

Ada anak yang menunjukkan gejala trauma berupa avoidance, yakni menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma yang ia alami atau dengar. Misalnya, tidak mau melewati jalan di lokasi tawuran.

Gejala lain adalah re-experiencing, atau mengingat-ingat atau mengulang-ulang kejadian yang sudah berlalu. Ada pula anak yang menunjukkan hyper-arousal, yakni ketergugahan fisik berlebihan. Misalnya, ketakutan saat mendengar balon meletus atau suara keras, karena trauma pada ledakan bom.

"Orangtua adalah yang paling tahu, apakah anak mengalami regresi atau kemunduran. Misalnya, setelah kejadian, anak yang awalnya tidak mengompol jadi mengompol. Atau, tadinya tidak menempel sama orangtua, sekarang menempel terus," ujar Nathanael.

Pada sebagian anak lain, gejala bisa sebaliknya, yakni menjadi lebih agresif. Orangtualah yang harus mendeteksi secara dini adanya perubahan perilaku anak yang signifikan terkait kejadian traumatis.

Menurut Cecilia, trauma anak dapat dilihat dari respons atau reaksi yang ditampilkan ketika berada pada situasi/kejadian yang kurang menyenangkan.

Ketika menjadi saksi atau mengalami langsung peristiwa traumatis, si kecil biasanya kebingungan terhadap situasi yang sedang dihadapi. Ini karena anak tidak mengerti dan belum mampu menjelaskan secara eksplisit.

Reaksi pertama biasanya adalah syok dan penolakan. Reaksi jangka panjang adalah kondisi emosi yang tak terduga ketika anak teringat hal yang terjadi di masa lalu. Trauma psikologis juga bisa mewujud dalam gejala fisik seperti pusing, mual, keringat dingin, menangis histeris, sulit tidur, dan muntah.

"Jika kondisi ini terus berulang, maka anak akan mengalami pengalaman traumatis tanpa perlu mengalami/mengulangi kejadian tersebut. Ia akan merasakan ketakutan yang berlebihan saat mengingat atau mendengar suara," jelas Cecilia.

Ia menekankan bahwa peristiwa traumatis akan membekas dalam pikiran anak dan meninggalkan kesan buruk pada dirinya. Hal ini dapat diketahui dengan reaksi atau perubahan yang dialami oleh seorang anak. Misalnya, seorang anak menjadi pemurung. Atau, ia mengalami gangguan konsentrasi belajar.

Kedua psikolog ini menekankan, kondisi traumatis harus segera ditangani, jika tidak akan terus berulang dan memengaruhi tumbuh kembang anak hingga dewasa.

"Orangtua dan lingkungan harus benar-benar mengamati, sejak kapan anak menampilkan perubahan perilaku. Biasanya, anak yang mengalami perubahan tingkah laku, misalnya jadi pendiam, pemurung, tidak berdaya dan mudah takut," papar Cecilia.

Kemudian, untuk mengetahui seberapa besar pengalaman traumatis membekas pada anak, perlu dilakukan kegiatan untuk menggali isi hati dan pikiran anak terkait peristiwa yang dialami. Misalnya, melalui konseling atau bercerita.

Atasi dengan memberikan rasa aman dan nyaman, pelukan, serta kehangatan. Yakinkan anak bahwa semua akan baik-baik saja, sehingga anak tidak perlu merasa cemas. Memang, respons alami anak ketika mengalami trauma adalah mencari keamanan dan kenyamanan dari orang dewasa yang dekat dengannya, seperti orangtua.

Jika anak menangis, biarkanlah. Menangis penting untuk menyalurkan emosi kepada orang terdekat. Setelah reda, ajaklah anak berbicara, dan biarkan ia mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan. Di sini, anak butuh didengarkan, dan kita harus belajar untuk memahami apa yang anak rasakan.

Baik Cecilia dan Nathanael menegaskan, jika langkah-langkah tersebut tidak berhasil atau tidak memberikan perubahan, sebaiknya ajak anak untuk bertemu psikolog atau orang yang ahli di bidangnya. Ini diperlukan untuk mencegah trauma berkepanjangan yang berdampak buruk bagi perkembangan psikologi anak hingga dewasa.

"Paling penting adalah orangtua menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak dan mendengarkan apa yang anak rasakan," tegas Cecilia. "Yakinkan anak bahwa ia dapat menciptakan rasa aman untuk dirinya sendiri. Dan tunjukkan kasih sayang kepada anak."

Satu hal yang penting diwaspadai anak yang trauma adalah jangan membohonginya. Hal ini tidak akan menyelesaikan permasalahan, justru anak akan merasa dibohongi. Sebaiknya, berikan penjelasan yang sederhana mengenai kondisinya, sehingga anak dapat memahami dengan cara mereka sendiri.

Cecilia mengingatkan bahwa jika trauma tidak diintervensi dengan tepat, maka anak akan kehilangan rasa aman. Akibatnya, ia akan terus merasa ketakutan dan insecure dengan situasi di sekitarnya. Jika seseorang anak bertumbuh dalam kondisi "perasaan tidak aman", maka ini akan memengaruhi perkembangannya.

Aspek yang paling terpengaruh khususnya adalah kepercayaan diri dan resiliensi, yakni daya tahan terhadap situasi yang menekan. Hal ini juga dapat memengaruhi anak saat menempatkan diri di dalam lingkungan sosial atau masyarakat.

Nathanael mengungkapkan, tanda-tanda anak sudah terlepas dari trauma adalah ia sudah bisa bermain, bersekolah, bergaul, dan berinteraksi dengan orangtua. Ini menjadi indikator bahwa anak sudah resilient melampaui masa sulit.

Nah, saat sudah berhasil melewati masa berat ini, Cecilia menyarankan agar orangtua menciptakan pola asuh terbuka dan komunikasi dua arah, di mana orangtua dan anak dapat mengungkapkan isi hati dan keinginan masing-masing.

Sejak kecil, sebaiknya bekali anak dengan kemampuan sosial yang baik agar ia dapat menempatkan diri di lingkungan dengan baik. Latih anak mengelola emosi ketika berhadapan dengan situasi atau kondisi yang menekan, seperti menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan.

"Jelaskan pada anak bahwa ia harus mampu melindungi diri sendiri dari situasi yang kurang menyenangkan atau mengancam. Ini penting untuk membangun resiliensi. Berikan rasa percaya diri yang lebih, sehingga anak memiliki kemampuan untuk melindungi diri," pungkas Cecilia.



Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Wanita Juga Bisa Kena Kanker Prostat

Polip Hidung Mengganggu Pernafasan dan Penciuman

Komunitas IndoRunners Membawa Virus Lari ke Masyarakat

Pemanis Buatan Sama Berbahayanya Dengan Pemanis Alami

Mengenal Buah Badam/Almond