Membeda-bedakan Anak, Baik atau Buruk?


Orangtua biasanya tidak mengakui atau tidak menginginkan dirinya dinilai memperlakukan anak secara berbeda. Pada kenyataannya, berbagai studi menunjukkan 1-2 dari 3 keluarga memiliki orangtua yang cenderung memfavoritkan salah satu (atau lebih) anak.

Sudahkah Anda membagi rata perhatian dan kasih sayang pada anak-anak? Jika belum, tandanya favoritisme tumbuh subur di keluarga.

Orangtua tidak perlu khawatir ketika memiliki 'anak favorit', tetapi orangtua perlu mengelola perasaan ini agar tampak ke dalam perilaku asuh yang patut.

Pesan itu disampaikan oleh Titi Sahidah Fitriana, M.Psi, Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas YARSI. Menurutnya favoritisme adalah suatu hal yang normal dan muncul pada setiap keluarga. Apabila orangtua menyangkal adanya favoritisme ini, akan sulit mengelola perasaan dan mengendalikan perilakunya sendiri dalam mengasuh.

"Sadari dan terima perasaan ini, untuk kemudian mengelola perilaku asuh yang ditampilkan baik kepada anak yang difavoritkan dan yang tidak," kata Titi.

Karina Priliani, M.Psi. Psikolog, dari PT Personal Growth menjabarkan bahwa favoritisme adalah kecenderungan untuk memihak ataupun menunjukkan perlakuan yang berbeda pada seorang individu didasarkan pada faktor kesukaan atau minat subyektif.

"Pemicunya bisa karena sifat dan perilaku anak yang lebih baik dibanding anak lainnya, kemiripan karakter diri dengan orangtua, prestasi anak ataupun kelemahan yang dimiliki sehingga butuh perhatian lebih. Kondisi khusus saat kehamilan anak maupun favoritisme yang dibentuk dari pihak lain seperti kakek nenek atau saudara lainnya," kata Karina.

Bentuknya seperti memberi waktu dan perhatian pada anak favorit hingga mengorbankan kepentingan anak lainnya, pemberian materi yang lebih banyak, lebih bagus, lebih mahal dan berkualitas, lebih mendengarkan suara anak tersebut dibandingkan lainnya, hingga jarang memarahi sekalipun perilakunya mengganggu atau merugikan orang lain.

Titi menambahkan, urutan kelahiran juga bisa jadi pemicu. Misalnya anak pertama sebagai tempat bercerita dan bertukar pendapat yang diandalkan, cenderung melimpahi si bungsu dengan kasih sayang. Atau pada anak biologis dan non biologis. Selain itu, perilaku dan kepribadian anak. Pengasuhan yang lebih penuh kontrol dan disiplin kepada anak yang perilakunya lebih agresif. Sementara, memberikan lebih banyak kehangatan kepada anak yang perilakunya lebih 'manis'.

"Favoritisme dapat muncul dalam bentuk perkataan, aturan, hak atau pemberian fasilitas yang berbeda," imbuh Titi.

Karina menegaskan, favoritisme tidak disarankan dalam pengasuhan anak. Karena nilai keberhargaan diri setiap anak sangat penting. Setiap anak dalam keluarga harus tumbuh dengan merasa berharga, dicintai, dan dipedulikan agar tumbuh menjadi anak yang sehat fisik dan mental.

"Hal ini bisa ditolerir bila anak sedang sakit atau dalam kondisi khusus yang butuh perhatian lebih. Itupun orangtua harus sangat berhati-hati dalam bersikap dan tahu kapan mengembalikan keadaan dan perhatian secara seimbang pada semua anak," tegasnya mengingatkan.

"Anak-anak lebih mentoleransi favoritisme pada saudaranya yang memang membutuhkan hal itu. Seperti pada anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini berdampak positif, sehingga si ABK dapat tampil sebagai pribadi yang percaya diri dan memiliki keterampilan sosial yang baik," Titi menambahkan.

Di luar kondisi khusus, kedua pakar ini mengingatkan dampak buruk dari favoritisme pada tumbuh kembang anak dan hubungan keluarga tersebut.

"Perbedaan perlakuan ini secara umum mendorong munculnya situasi yang problematis untuk kesejahteraan setiap anak. Anak-anak yang tidak difavoritkan akan memiliki rasa keberhargaan diri dan tanggung jawab sosial yang lebih rendah, serta agresi, depresi, dan externalizing behavior. Juga bisa memicu timbulnya hubungan persaudaraan yang buruk. Anak-anak kurang dekat satu sama lain dan cenderung bermusuhan," papar Titi.

"Berpotensi besar menimbulkan sibling rivalry dalam hubungan saudara kandung. Jika hal ini berlebihan dan tidak tertangani akan menimbulkan rasa iri dan cemburu, antar anak tidak akur, hingga kurang baiknya pertumbuhan rasa keberhargaan dan kepercayaan diri," kata Karina.

Selain itu, Karina juga menambahkan bahwa anak yang tersisih akan merasa dirinya selalu kurang sehingga membenci dirinya sendiri ataupun membenci saudara yang difavoritkan karena ketidakadilan yang dirasakan sehingga mematikan rasa sayang dan kepedulian. Menganggap saudaranya yang difavoritkan merupakan anak yang "tepat" kemudian meniru segala perilaku dan pribadinya dan mengorbankan karakter diri sejatinya, dengan harapan akan mendapat perlakuan dan perhatian yang sama dari orangtuanya. Ia akan memiliki hubungan yang over dependent dengan saudaranya.

"Ini tentu sangat mempengaruhi kesejahteraan dan kualitas hubungan dalam keluarga. Padahal keluarga adalah tempat utama seorang tumbuh dan berkembang. Juga menimbulkan banyak emosi negatif dan ketidakbahagiaan," imbuhnya lagi.

Perilaku diskriminatif orangtua bukan tanpa alasan. Bisa karena memacu semua anak untuk lebih memiliki nilai juang dan keinginan berprestasi, spontanitas timbul rasa sayang yang berbeda dan perhatian lebih pada anak yang lebih disukai atau mungkin pula karena ketidakcocokan dengan salah satu anaknya.

"Jadilah orangtua yang adil dan menghargai setiap pribadi anak yang unik. Saat orangtua dapat menerima dan menghargai pribadi setiap anak secara utuh, maka orangtua dapat berperilaku bijak dan memperlakukan setiap anak dengan kasih sayang dan perhatian yang adil," tegas Karina.

Menurutnya jangan lagi membanding-bandingkan anak, terlalu mengagungkan kelebihan salah satu anak, ataupun memanjakan karena merasa ia lebih membutuhkan saudaranya.

"Boleh membandingkan perilaku, prestasi, dan kelebihan anak dalam tahap wajar. Atau menunjukkan perhatian lebih pada salah satu anak karena memang dia sangat membutuhkan, sertai penjelasan pada anak lainnya. Selain itu secara nyata tetap menunjukkan sikap adil merata pada setiap anak," Karina mengingatkan.

Tumbuh di dalam keluarga dimana setiap anak mendapat giliran untuk menjadi istimewa akan membuat anak lebih menghargai keunikan setiap hubungan. Anak akan memahami bahwa tidak ada dua hubungan yang persis sama. Mereka akan lebih mudah menerima bahwa ada keistimewaan pola hubungan antara orangtua dengan setiap anak.

"Menjadi favorit tidak lantas menempatkan anak bebas aturan dan harus mendapatkan setiap yang diinginkan. Pastikan bahwa disiplin dan hak yang diterapkan berlaku konsisten pada setiap anak," ungkap Titi.

Karena itu komunikasi terbuka sangat penting sebagai cara orangtua mengendalikan perilaku asuhnya. Seiring dengan kematangan anak, komunikasi terbuka membantu anak memahami dan menghargai alasan dari perilaku yang ditampilkan oleh orangtua kepada anak.

Buat kesepakatan bersama mengenai pola asuh yang konsisten, pola asuh terkait dengan apresiasi, aturan, perilaku yang appropriate sesuai dengan tahap perkembangan anak.

"Apa pun kelebihan anak harus diakui secara adil sehingga setiap anak tumbuh berkembang menjadi pribadi yang bisa menghargai dirinya sendiri dan mampu mengembangkan potensi diri secara optimal," pesan Karina.

"Orangtua boleh memiliki favoritisme, karena ini sebatas efek dan preferensi. Namun demikian, hendaknya kendalikan perilaku asuh agar setiap anak merasa berhak atas kasih sayang," pungkas Titi.


Kunci untuk mengatasi favoritisme adalah perasaan cinta, kesetaraan perilaku asuh dan komunikasi yang terbuka. Orangtua perlu mengembangkan dan mengekspresikan rasa cinta kepada setiap anak, dengan mencari keunikan setiap anak dan jadi keunikan tersebut sebagai suatu yang menempatkan anak pada posisi yang spesial di hati. Misalnya, boleh mengandalkan anak pertama sebagai pemecah masalah dalam keluarga, tapi jadikan anak kedua sebagai partner dalam memilih perabot rumah tangga karena seleranya yang bagus.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👶👦👧👨👩👴👵👷👮👸👳👲👱

Apa itu Olahraga Aqua Zumba dan Manfaatnya?

Tip-Tip Menjaga Kesehatan Tenggorokan

Wanita Juga Bisa Kena Kanker Prostat

Hidup Aktif Bisa Menurunkan Risiko Sakit Jantung