Ketahui dan Cegah Hepatitis
Bulan ini, ada satu hari yang dicanangkan WHO sebagai Hari Hepatitis Sedunia, yakni 28 Juli. Tujuannya? Mendorong peningkatan kesadaran terhadap pencegahan dan pengobatan hepatitis. Dengan angka 1,4 juta per tahun, penyakit yang satu ini memang masih menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia.
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada organ hati manusia yang kian meningkat jumlah penderitanya. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini merupakan penyakit menular yang menjadi problem besar kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Dampaknya tidak hanya pada aspek ekonomi, tapi juga kondisi sosial masyarakat.
Menurut Prof. DR. Dr. David Handojo Muljono Sp.PD, FINASIM, PhD,dari Komite Ahli Hepatitis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, beban penyakit hepatitis bagi negara cukup signifikan. Disamping menyebabkan kesakitan, Hepatitis B dan Hepatitis C mengakibatkan kerugian sosio-ekonomi yang besar.
"Ini karena keparahan penyakit justru terjadi pada usia produktif, sehingga investasi keluarga dan negara dalam asuhan, pendidikan, dan ekonomi menjadi sia-sia dan menyebabkan hilangnya produktivitas generasi yang terinfeksi," ujar Prof. David.
Kondisi ini diperparah dengan beban keluarga dan negara dalam merawat penderita serta biaya pengobatan yang besar. Apalagi, jika hepatitis sudah meningkat menjadi sirosis, kanker, dan penderita harus menjalani transplantasi hati.
Oleh karena itu, Komite Ahli Hepatitis bersama Pemerintah Indonesia menyerukan ajakan bertajuk "Ketahui Hepatitis, Saatnya Bertindak!" demi mewujudkan Indonesia yang bebas hepatitis.
Dalam memerangi hepatitis, Prof. David mencatat sejumlah tantangan yang dihadapi, diantaranya adalah kurang kewaspadaan, kurang data, masalah diagnosis yang mahal, cara pengobatan yang kompleks (dan mahal), kapasitas yang masih belum merata, dan respons negara dan dunia yang tidak cukup kuat.
Secara spesifik, Prof. David menyoroti dua hal, yaitu kurangnya data dan kesadaran. Ini membuat masalah tidak diketahui secara detail, sehingga rencana penanggulangan tak bisa dibuat. Akibatnya, hepatitis tidak menjadi prioritas.
Saat ini, ada 2 miliar penderita hepatitis B di dunia, dengan lebih dari 240 juta adalah penderita hepatitis kronis. Sebanyak 75 persen dari jumlah ini tinggal di Asia Pasifik. Hepatitis C juga memiliki angka penderita yang cukup tinggi, yakni 150 juta orang dengan angka kematian 500.000 per tahun.
Karena itu, target dunia saat ini adalah agar pada 2020, 5 juta orang mendapatkan pengobatan hepatitis B dan 3 juta orang memperoleh pengobatan hepatitis C. Diharapkan, ini akan menurunkan jumlah kasus kronis dan kematian, dari 1,4 juta menjadi 0,5 juta.
Ada harapan kita dapat berpartisipasi aktif dalam pencapaian target tersebut, karena seperti diungkapkan Dr. Irsan Hasan, Sp.PD-KGEHdari Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia,tata laksana pengobatan hepatitis yang komprehensif sesungguhnya telah tersedia di Indonesia.
"Pengobatan hepatitis di negara kita saat ini terdiri dari vaksinasi, pemeriksaan HBV, biopsi hati, monitoring pasien, pencegahan umum dan khusus, hingga konseling dan terapi," papar Dr. Irsan.
Saat ini, hampir seluruh jenis obat antivirus hepatitis B bisa diperoleh di Indonesia. Sebentar lagi, obat-obat antivirus hepatitis C yang menjanjikan kesembuhan 100 persen juga akan tersedia. Namun, upaya pencegahan seyogyanya lebih diutamakan ketimbang pengobatan.
Untuk itu, kenali penyakit hepatitis dan jagalah kebersihan dan kesehatan diri serta lingkungan, hindari faktor risiko, lakukan deteksi dini, dan lakukan pengobatan hingga Anda benar-benar bebas dari hepatitis.
Ada beragam hal yang menyebabkan hepatitis bersarang di tubuh seseorang, dari virus, bakteri, obat-obatan, alkohol, dan zat berbahaya lain.
Bagaimana peranan terapi alternatif mengingat harga obat hepatitis yang cukup mahal? "Ingat, pada sebagian kasus hepatitis B, tidak dikasih obat pun bisa sembuh sendiri. Obat herbal seperti temulawak, kunyit bukanlah antivirus," tegas Dr. Irsan.
Dr. Irsan mengakui adanya penelitian yang menunjukkan bahwa obat herbal bisa menurunkan tingkat SGOT/SGPT. "Tetapi, perlu diingat bahwa herbal harus digunakan sebagai suplemen, bukan obat utama," tukas staf pengajar Divisi Gastroenterologi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, ini.
Bicara hepatitis, salah satu aspek khusus yang penting kita ketahui adalah penularan hepatitis dari ibu ke bayi.
Menurut DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K), staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, proses penularan hepatitis B dari ibu kepada bayi dapat terjadi selama masa kehamilan, tetapi sebagian besar (95 persen) penularan terjadi pada proses persalinan.
Bayi yang tertular hepatitis B akan tumbuh dengan penyakit tersebut tanpa menunjukkan gejala, tetapi kelak dapat berkembang menjadi hepatitis kronis atau sirosis hati saat anak-anak atau dewasa. Untuk itu, ibu hamil dengan risiko hepatitis sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan status HBsAg, apakah positif atau negatif.
"Sebenarnya, umur berapa pun tidak masalah bila diberikan vaksin hepatitis B. Namun, paling lambat di usia kehamilan trimester 3, sang ibu sudah harus diperiksa," tegas pakar yang juga aktif di Ikatan Dokter Anak Indonesia (DAI) ini.
Jika sang ibu memiliki status HBsAg negatif atau tidak diketahui, maka bayi akan diberikan imunisasi aktif dengan pemberian HB O kurang dari 24 jam setelah lahir, bersamaan dengan pemberian vitamin K-1.
Sementara itu, bayi dari ibu dengan HBsAg positif akan diberikan imunisasi immunoglobulin kurang dari 24 jam setelah lahir, bersamaan dengan pemberian HB O pada paha yang berbeda.
Ini diikuti dengan imunisasi hepatitis B sesuai program imunisasi nasional yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Kemudian, saat bayi berusia 9-12 bulan, ia harus menjalani tes HBsAg serta titer HBs.
Melalui Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, IDAI melakukan pendekatan untuk melakukan skrining HBsAg pada ibu hamil.
Kepada pihak pasien dijelaskan bahwa skrining ini adalah untuk kepentingan ibu dan bayinya, terutama untuk mencegah bayi dari infeksi hepatitis B. Diharapkan, dengan begitu sang ibu mengerti bahwa skrining tersebut penting untuk kebutuhan bayinya.
"Sebenarnya, yang masih menunjukkan penolakan itu bukan karena ibu tidak mau bayinya divaksin, tetapi lebih kepada menunda 1-2 minggu kemudian saat kontrol. Ini yang sebenarnya menghambat karena penundaan itu bisa membuat terlambat. Kalau ibunya sudah pernah diskrining masih lebih baik, tapi kalau belum bisa lolos," tegas Dr. Hanifah.
Vaksin kurang dari 24 jam pertama setelah bayi lahir adalah safety netdan bentuk pencegahan yang nyata terhadap penularan infeksi hepatitis dari ibu. Inilah yang masih belum disadari oleh banyak dokter dan paramedis, apalagi masyarakat tentang urgensi pemberian vaksinasi dini.
"Tujuan vaksin ini bukan hanya menurunkan, melainkan juga mengeliminasi hepatitis B. Dan ini memerlukan dukungan dan keterlibatan semua pihak, dari rumah sakit, dokter, dan masyarakat," ujar Dr. Hanifah.
"Semoga semakin banyak masyarakat yang paham tentang hepatitis dan mau berpartisipasi dalam langkah-langkah yang dianjurkan untuk mencegah virus ini menyebar," pungkas Dr. Hanifah. "Salah satunya adalah dengan kesediaan calon ibu yang punya faktor risiko untuk melakukan skrining dan memberikan vaksinasi pada waktunya."
Komentar