Pesona Makhluk Bercahaya di Laut Dalam
Magisnya pendar cahaya yang dihasilkan sejumlah makhluk di laut dalam membuat kita terpesona. Faktanya, fenomena bioluminesensi adalah salah satu ciri ekologi paling dominan di Bumi.
Pada 1932, ketika William Beebe turun ke dasar samudra dengan kapal selam kecil dan sempit, ia menjadi ilmuwan pertama yang menjelajah gelapnya laut dalam.
Sebuah jendela kecil memungkinkan Beebe mengintip ke luar. Apa yang dilihatnya? "Dunia ganjil yang dipenuhi pendar cahaya dan binar temaram yang menyihir," kata sang ilmuwan.
Beebe mengisahkan pengalamannya dalam buku Half Mile Down, di mana ia mengaku sangat terkesan dengan pertunjukan spektakuler di laut dalam, yang mencakup pendar hijau, biru, merah pucat, dan terutama biru-hijau.
Pijaran itu disebut bioluminesensi, yakni sinar yang berasal dari makhluk hidup, terutama ikan laut dalam yang bertaring. Keseluruhan variasi mereka menunjukkan bahwa bioluminesensi sesungguhnya lumrah, tapi saat itu belum ada ilmuwan yang menemukan metode pengukuran fenomena tersebut.
Kini, 85 tahun setelah penyelaman perintis yang dilakukan Beebe, para ilmuwan telah berhasil mengukur level bioluminesensi di laut dalam.
Selama 240 kali riset penyelaman yang dilakukan di Samudra Pasifik, tim ilmuwan merekam setiap kemunculan dan jenis makhluk laut yang bercahaya. Mereka mendapati ada lebih dari 500 jenis yang hidup di kedalaman 3 kilometer.
Kemudian, para ilmuwan menggabungkan seluruh temuan riset mereka ke dalam survei komprehensif. Hasilnya? Sebagian makhluk laut - sebesar 76 persen - menghasilkan cahaya sendiri, jauh lebih besar dari jumlah makhluk laut yang tak bercahaya, misalnya lumba-lumba.
"Orang mengira bioluminesensi adalah suatu karakteristik yang eksotis," ujar Severine Martini, pakar biologi laut dan penulis utama studi yang diterbitkan di Scientific Reports. "Bahkan para pakar oseanografi belum menyadari bahwa hal ini adalah fenomena yang umum."
Karena laut dalam adalah habitat terbesar Bumi, temuan terbaru ini mengonfirmasi bahwa bioluminesensi adalah ciri ekologi paling dominan di planet kita.
Ini menjadi fakta yang mengejutkan karena kita beranggapan makhluk laut yang bercahaya adalah sesuatu yang tidak umum, ungkap Martini dan rekan penelitinya, Steven H.D. Haddock.
Martini dan Haddock berasal dari Monterey Bay Aquarium Research Institute di California. Haddock adalah pakar bioluminesensi, dan ia telah menerbitkan puluhan jurnal ilmiah tentang biota laut yang bercahaya. Karya ilmiah Haddock merupakan bacaan wajib di sejumlah universitas.
Monterey Bay Research Institute adalah perintis dalam eksplorasi samudra yang didirikan pada 1987 oleh David Packard, miliarder pendiri Hewlett-Packard dan pencipta Silicon Valley.
Selama bertahun-tahun, Haddock dan timnya telah mengirimkan robot ke dalam laut untuk menjelajah dunia gelap yang dingin.
Kamera-kamera sensitif pada robot tersebut memungkinkan ilmuwan melakukan perburuan visual yang luas. Sejauh ini, para ilmuwan telah mendapatkan lebih dari 350.000 penampakan kehidupan laut dalam.
Sebelumnya, mata manusia masih bekerja jauh lebih baik dari kamera apa pun dalam merekam cahaya redup di laut dalam. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ungkap Haddock, sensitivitas kamera sudah mulai dapat menandingi kehebatan mata manusia.
Temuan mereka antara lain adalah anglerfish, ikan bercahaya yang terkenal dari laut dalam, yang memancing mangsa dengan antena yang menggantung dari kepala mereka dan memiliki ujung bersinar. Ikan ini juga kerap dijuluki sebagai "ikan iblis".
Makhluk lain yang tak kalah ganjil yang juga direkam dalam penelitian Haddock adalah Vampyroteuthis infernalis, yang dalam bahasa Latin berarti "cumi-cumi vampir dari neraka." Makhluk aneh tersebut memiliki mata biru, tubuh merah tua, dan selaput mantel di tentakel-tentakelnya... yang juga bercahaya di ujung-ujungnya.
Haddock dan timnya juga mendapati cumi-cumi tersebut dapat mengeluarkan partikel biru bercahaya yang dapat membentuk awan bercahaya di sekitar hewan itu, tampaknya untuk mengalihkan perhatian predator sementara sang cumi-cumi berusaha menghilang di kegelapan.
Selama beberapa dekade terakhir, para ilmuwan telah menyusuri akar evolusi dari makhluk laut yang bercahaya sampai ke lautan purba ratusan juta tahun yang lalu, jauh sebelum era dinosaurus.
Secara kebalikan, bioluminesensi di darat merupakan fenomena yang relatif baru. Makhluk darat yang mengeluarkan cahaya - tidak seperti kerabat mereka di lautan - hanyalah minoritas kecil. Contohnya? Kunang-kunang, beberapa spesies kumbang, kaki seribu, dan cacing tanah.
Pada kesimpulan studi, para ilmuwan pun menyatakan bahwa seluruh ekspedisi dan upaya mereka hanya sanggup menghasilkan tak lebih dari perkiraan kasar terhadap realita fenomena tersebut.
Haddock dan Martini nengaku, keseluruhan dari kehidupan bioluminesensi belum dapat dipetakan, terutama di perairan laut dalam, di mana penemuan-penemuan selanjutnya masih menanti.
Ketika Karang Turut Bercahaya
Batu karang tak hanya cantik dan penuh warna, tapi juga mengeluarkan cahaya. Kini, studi yang dilaporkan di Proceedings of the Royal Society B menemukan alasan di balik cahaya karang laut.
Selama miliaran tahun, batu karang memiliki perjanjian istimewa dengan ganggang: karang memberi ganggang perlindungan, dan ganggang mengubah cahaya menjadi makanan bagi karang.
Perlindungan tersebut diberikan batu karang lewat pendar cahayanya. Jauh di dalam jaringan mereka, terdapat protein kecil yang mengambil sinar ultraviolet dari matahari dan mengubahnya menjadi pelindung berwarna hijau menyala terhadap sinar sang surya.
Protein-protein karang juga menangkap sinar matahari dan memancarkannya kembali sebagai cahaya merah-oranye yang menembus jauh ke dalam jaringan-jaringan mereka, memberi pasokan bagi teman mikroskopis mereka: ganggang. Ini berarti, ada cahaya untuk fotosintesis, dan ganggang dapat menghasilkan energi dan makanan untuk batu karang.
Jadi, cahaya batu karang membuatnya bertahan hidup. Ini juga strategi yang diterapkan karang untuk mengatasi masalah lingkungan yang kekurangan sinar matahari, ungkap Joerg Wiedenmann, pakar biologi dari University of Southampton.
Penelitian tersebut dapat memiliki implikasi untuk konservasi batu karang di laut, yakni dengan memahami bagaimana spesies karang yang berbeda beradaptasi terhadap beragam kondisi cahaya.
Komentar