Suatu Pagi Selepas Sholat Subuh
Sudah menjadi kebiasaan, usai menjadi Imam Sholat Subuh, Kyai Sepuh tidak akan beranjak dari duduknya sebelum matahari muncul. Jika tidak wiridan, beliau pasti akan melantunkan Sholawat Nariyah dengan suara rengeng-rengeng menenteramkan hati yang mendengarnya.
Beberapa santri kadang ada yang ikut menemani. Tapi lebih seringnya mereka membiarkan Kyai Sepuh sendirian.
Seperti pagi itu, Subuh baru beberapa menit berlalu. Kyai Sepuh duduk bersila di samping mimbar menikmati udara dingin yang merasuk melalui jendela Mushola yang sengaja dibiarkan terbuka.
Kyai Sepuh tidak melantunkan sholawat seperti biasanya. Beliau membaca surat Al Mulki, surat yang menjelaskan tentang kebesaran kerajaan Allah.
Baru juga hendak menyelesaian ayat terakhir, seseorang berpakaian serba hitam masuk ke dalam Mushola dengan gerakan mencurigakan. Orang itu berjalan merunduk-runduk di belakang Kyai Sepuh.
Mendadak Kyai Sepuh merasakan sesuatu menempel di lehernya. Benda dingin, tajam dan berkilat.
Kyai Sepuh mengucap tasdiq, menyudahi bacaannya sembari mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh ujung pedang.
"Kisanak, kau yakin akan menjadi pembunuh di pagi penuh berkah ini? Kau tidak menyayangi anak dan istrimu lagi? Mereka pasti sangat sedih jika mengetahui orang yang mereka cintai berbuat hal yang tidak disukai Allah," Kyai Sepuh berkata tanpa menoleh.
Mendengar kalimat yang diucapkan dengan begitu tenang, mendadak lutut orang asing itu gemetar. Pedang di tangannya jatuh berdenting.
"Kisanak sudah melaksanakan Sholat Subuh? Jika belum, segeralah ambil wudhu. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan."
Orang asing itu bagai kerbau dicokok hidungnya. Ia berjalan keluar menuju keran air yang berada tepat di samping kiri Mushola.
Beberapa menit kemudian laki-laki berpakaian serba hitam itu masuk kembali ke dalam Mushola. Ia berdiri di samping Kyai Sepuh lalu segera melakukan Sholat Subuh dua rakaat dengan khusuk.
Kyai Sepuh menunggu dengan sabar sampai tamu tak diundang itu menyelesaikan ibadahnya.
"Aku dulu juga bukan orang baik-baik. Aku pernah menjadi preman pasar yang setiap hari memalak para pedagang dan orang-orang yang kebetulan lewat di depanku. Tapi kemudian Allah membuka hatiku. Memberiku hidayah agar menyudahi petualangan burukku," Kyai Sepuh berkata lirih.
"Bagaimana Kyai tahu kalau saya seorang preman?" laki-laki asing itu menundukkan kepala.
"Hanya instingku saja. Aku tahu Kisanak tidak benar-benar berniat jahat. Kisanak hanya sedang bingung," Kyai Sepuh berkata seraya menatap laki-laki tak dikenal yang kini sudah duduk bersila di sampingnya.
"Maafkan saya, Kyai. Anda benar," orang itu tiba-tiba terisak. Tangisnya tak bisa dibendung lagi. Kyai Sepuh mengulurkan tangan, menyentuh pundak lelaki itu dari samping.
"Tidak apa-apa. Simpan kembali pedangmu itu. Aku sudah tua. Tanpa dibunuh pun aku pasti bakal mati."
Ucapan Kyai Sepuh semakin membuat tangis orang asing itu menjadi-jadi.
"Saya memang sedang bingung, Kyai. Saya berpikir Tuhan tidak adil terhadap saya."
"Kisanak, keadilan bagi Allah berbeda dengan keadilan yang terpikirkan oleh manusia."
"Saya merasakan kehidupan yang saya jalani sangat berat, Kyai. Sementara orang-orang di sana, termasuk panjenengan, memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari saya."
"Kisanak, rezeki itu di tangan Allah. Semua sudah diatur olehNya. Sudah tercatat di lauhul mahfuz. Meski begitu kita harus tetap ikhtiar dan berusaha."
"Saya sudah berusaha secara maksimal, Kyai. Tapi...."
"Kisanak, sebentar lagi matahari menampakkan diri. Ada satu sholat pembuka pintu rezeki yang sangat mustajabah. Namanya Sholat Dhuha. Lakukan sholat ini secara rutin. Maka kemudahan dan kelancaran insya Allah menyertaimu."
Kyai Sepuh berdiri. Diikuti oleh orang asing itu.
Sebentar kemudian tampak dua orang melakukan Sholat Dhuha bersama-sama.
Di luar langit menghampar cerah. Matahari baru saja menampakkan diri. Beberapa orang santri membuka pintu Mushola dengan riang. Satu dua orang membersihkan karpet di dekat mimbar di mana Kyai Sepuh sering duduk berzikir di sana.
Tidak seorang pun dari para santri itu menyadari bahwa sekitar satu setengah jam lalu, usai Sholat Subuh, seorang laki-laki tak dikenal berbincang dan melakukan sholat berjamaah bersama Kyai Sepuh. Kyai yang haul keduanya akan diperingati pada hari itu.
Komentar