Mengenang Kisah Heroik Daan Mogot
Agustus, bulan yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia, karena 72 tahun yang lalu dwi tunggal, Soekarno-Hatta mendeklarasikan kemerdekaan. Di saat yang sama kita juga digiring untuk memperingati jasa para pahlawan yang gugur di medan laga. Mereka adalah pemberi kemerdekaan yang hakiki.
Bukan latah, kalau saya ikut-ikutan menulis tentang kepahlawanan. Apalagi, dirgahayu Republik Indonesia baru saja berlalu. Jujur saja, saya bisa mengenyam pendidikan yang lumayan tinggi, kemudian bekerja mendapatkan penghasilan merupakan buah perjuangan mereka. Jadi, tulisan flash back ini sekedar apresiasi minim saya pada mereka yang saat ini bersemayam dengan tenang di bumi nusantara.
Salah satunya adalah Mayor Elias Daniel Mogot. Atau lebih dikenal sebagai Daan Mogot, yang kini diabadikan menjadi nama jalan yang membelah kawasan Cengkareng, Jakarta Barat hingga Tangerang. Nama jalan Daan Mogot yang semrawut, bisa jadi lebih dikenal banyak orang dibandingkan sosoknya sendiri. Tilik saja, pada jaman saya mengenyam Sekolah Dasar hingga tamat SMA, di mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) tak ada nama Daan Mogot disebutkan. Padahal, mendiang Daan Mogot tercatat sebagai pendiri dan Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT). Perjuangan heroiknya saat bermaksud melucuti senjata bala tentara Jepang di hutan Lengkong, Serpong, Tangerang yang membuatnya harus menghadap Sang Pencipta pada usia 17 tahun pun belum banyak diketahui generasi muda.
Pertempuran Lengkong meletus pada 25 Januari 1946. Saat itu, Daan Mogot dengan 70 taruna MAT menyambangi depot senjata Jepang di Lengkong untuk mendahului tentara NICA-Belanda yang juga bermaksud melucuti tentara Jepang di depot itu. Mereka disambut komandan pasukan Jepang, Kapten Abe. Saat proses perundingan berlangsung. Tiba-tiba, sebagian taruna MAT yang berada di lapangan depot dihujani tembakan yang tidak diketahui asalnya. Suara tembakan itu ikut mendorong tentara Jepang lainnya untuk menyalakkan senjatanya kepada kumpulan taruna yang terjebak di lapangan.
Daan Mogot pun segera keluar dari tempat perundingan, berlindung menuju hutan karet Lengkong diikuti anak buahnya seraya membalas tembakan pada tentara Jepang. Tentara Jepang yang bertempur dengan ganasnya terus mengejar. Karena kalah amunisi, senjata dan pengalaman, sebanyak 33 taruna gugur. Sementara, Daan Mogot sendiri gugur dihujani tembakan saat mengoperasikan senapan mesin anak buahnya yang telah tewas. Peluru yang menembus paha kanan dan bagian dadanya menamatkan perjuangannya. Sedangkan sebagian taruna dan perwira lainnya berhasil ditawan serta meloloskan diri.
Mereka yang gugur kemudian dimakamkan dekat penjara anak Tangerang. Penghormatan terakhir dilakukan oleh keluarga para taruna yang gugur, perwira dari Akademi Militer Tangerang, Perdana Menteri Sutan Syahrir serta Wakil Menteri Luar Negeri RI, H. Agoes Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa ini.
Daan Mogot, putra Manado, gugur dalam usia muda. Bersama jenazahnya, ikut disemayamkan potongan rambut sang kekasih, Hadjari Singgih. Konon, rambut Hadjari yang saat itu hingga mencapai pinggang dipotong. Semenjak hari itu, Hadjari membiarkan potongan rambutnya tetap pendek.
Kisah heroik Daan Mogot ini pantas untuk kembali direnungkan di tengah krisis nasionalisme bangsa ini. Apalagi di masa revolusi itu, ia harus merelakan kepergian sang ayah yang dibunuh oleh perampok karena stereotype orang Minahasa adalah antek-antek Belanda. Sayang seribu sayang. Bangsa ini memang mudah menuduh tanpa bukti yang kuat. Semudah pula melupakan pejuang muda seperti Daan Mogot.
Komentar