Pentingkah Mengajarkan Sikap Toleransi Kepada Anak?
Keberagaman adalah situasi yang dialami langsung oleh anak-anak, baik di lingkup keluarga maupun sekolah. Sudahkah mereka diberikan pendidikan toleransi?
Alangkah senangnya melihat anak-anak bermain bersama tanpa memilih-milih teman. Meski warna kulit, agama, dan suku mereka beragam, saat bermain, semua anak menampilkan ekspresi sama: gembira!
Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut, tentu seorang anak perlu memahami arti toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati antar individu di dalam masyarakat.
Dini Andriani, M.Psi., Psikolog dari Klinik Sekarwangi menjelaskan bahwa toleransi pada anak adalah kemampuan untuk menerima keberadaan dan perbedaan orang lain dengan dirinya.
"Ini kemudian berkembang menjadi sikap saling menghormati dan menghargai," ujar Dini. "Toleransi bisa diajarkan sedini mungkin, yaitu ketika anak mulai paham konsep toleransi."
Dini menegaskan pendidikan toleransi penting dilakukan agar tidak muncul rasa egosentris dan memilih-milih dalam berelasi. Sebaliknya, anak bisa membedakan teman yang berperilaku baik atau buruk.
Menurutnya, mengajarkan toleransi bermanfaat tak hanya bagi buah hati, tapi juga individu lain dan masyarakat. Selain menumbuhkan empati pada anak, ini penting untuk menghindari perpecahan dan permusuhan.
Sementara itu, Feka Angge Pramita, M.Psi., Psikolog, dari Klinik Anakku Kelapa Gading, mengingatkan pentingnya memahami bagaimana anak mengenal dunia luar.
"Dimulai dari keluarga, yaitu orangtua dan saudara, anak punya lingkungan pergaulan yang lebih luas ketika masuk usia sekolah," jelas Feka. "Secara natural, otak manusia membedakan, misalnya mana laki-laki dan mana perempuan."
"Kalau kita fokus pada yang homogen, maka otak akan melihat di antara homogen ini pasti ada yang heterogen. Itulah sebabnya, bicara keberagaman, lebih baik perkenalkan anak sejak sedini mungkin," ujar Feka.
Tujuannya?
Agar anak tahu bahwa tidak semua orang sama. Masing-masing kita punya perbedaan, seperti warna kulit dan cara berpakaian. Juga untuk isu yang lebih sensitif lagi, misalnya agama, suku, dan ras.
Untuk itu, Dini menjelaskan langkah-langkah efektif dalam mengajarkan toleransi pada anak. Pertama, orangtua harus memberi contoh bagaimana menyikapi perbedaan di sekitarnya.
"Karena apa yang dilakukan orangtua akan ditiru oleh anak. Maka, berhati-hatilah dalam berucap dan bertindak," Dini mengingatkan. "Selain itu, beri anak pengertian dan cara konkret tentang apa yang harus dilakukan pada temannya."
Contoh, ajarkan anak untuk tidak mengejek teman yang berbeda, atau jika melihat ada orang lain yang mengalami kekurangan, seperti cacat fisik. Ini dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan buku-buku cerita yang memiliki tokoh anak dari kondisi dan latar belakang yang berbeda, tapi saling menghormati dan bahkan bersahabat.
"Jangan lupa, ajarkan juga kepada anak untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan atau inginkan melalui kata-kata yang baik, dan tidak dengan marah-marah dan nada suara tinggi, atau dengan menggunakan fisik, seperti memukul atau mencubit," kata Dini.
Feka menambahkan tentang pentingnya membangun komunikasi yang baik dengan anak.
Orangtua adalah setiap orang dewasa yang berinteraksi dengan anak. Apalagi, di Indonesia peran kakek-nenek dan anggota keluarga lain atau pengasuh juga besar. Ingat, setiap orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak bertanggungjawab dengan perkembangan anak.
Selain orangtua, sekolah juga merupakan wadah yang baik bagi anak untuk berlatih bagaimana ia dapat menghargai dan menghormati perbedaan di antara teman-temannya.
Dini menekankan, tantangan yang umumnya dihadapi orangtua dalam mengajarkan toleransi pada saat ini adalah bagaimana menghadapi orang lain yang menunjukkan sikap intoleransi.
Salah satu contoh yang paling sering ditemui adalah perilaku bullying pada anak, baik di lingkungan sekolah maupun pergaulan di lingkungan sosial. Kalau anak mengalami perundungan atau bullying karena SARA, bagaimana mengatasinya?
Feka mengungkapkan, jika perundungan terjadi di sekolah, sebaiknya pihak sekolah terlibat dalam memberikan penjelasan tentang permasalahan yang terjadi, mencari tahu apa dan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, serta mencari solusi bersama.
"Bullying itu lebih ke teror dan berintensitas menyakiti. Kalau cuma bercanda itu namanya mocking. Nah, kalau kasusnya mocking, anak harus diajari kapan perlu berhenti dan bercanda seperti apa yang tepat," tegas Feka.
Untuk mencegah hal-hal buruk terkait intoleransi dilakukan atau terjadi pada anak-anak, maka kembali lagi ke komunikasi dan interaksi. Kalau sudah terjadi masalah, jangan diabaikan. Intervensi khusus harus segera dilakukan.
Cari tahu, kenapa hal-hal terkait intoleransi itu bisa muncul. Apakah karena anak kesepian, tidak mendapat cukup perhatian dari orangtua, atau sebab lain. Semua perlu ditelusuri akar penyebabnya agar bisa ditentukan solusi yang tepat.
Dini menyebutkan, indikator keberhasilan penanaman nilai-nilai toleransi tidak hanya terlihat dari perilaku anak dalam berteman atau berelasi, tetapi terlihat pula dari pemikirannya saat berdiskusi.
"Toleransi bisa dilihat ketika anak-anak tahu dan memahami adanya perbedaan. Ketika tidak bisa, maka yang akan muncul adalah rasa dominasi dan superior," Feka menambahkan.
Itu sebabnya, semua pihak tidak boleh lelah melakukan diskusi, sosialisasi, dan edukasi. Yang tidak kalah penting adalah memberi contoh konkret dalam keseharian, bahwa anak harus saling menghargai dan menghormati perbedaan.
"Kita harus menciptakan lingkungan yang lebih positif. Kalau lingkungan anak selama ini homogen, kita buat lebih heterogen supaya anak-anak belajar bahwa berbeda itu tidak apa-apa, dan bahwa perbedaan itu indah," pungkas Feka.
Komentar