Ternyata Orang Indonesia Paling Malas Jalan Kaki
*Gaungkan "Gerakan Nasional Berjalan Kaki" ke kantor, kampus dan sekolah....
Peneliti di Universitas Stanford, AS, sampai pada kesimpulan bahwa orang Indonesia paling malas berjalan kaki. Fakta ini muncul berdasarkan kajian para peneliti tersebut. Terhadap data 700.000 pengguna ponsel yang memakai aplikasi Argus yaitu pemantau aktivitas yang ada pada ponsel responden itu (Data Ponsel Dunia: Orang Indonesia Paling Malas Berjalan Kaki, BBC Indonesia, 12/7-2017).
Tentu saja fakta itu merupakan realitas sosial karena belakangan ini amat jarang kita melihat orang-orang berjalan kaki. Di sebuah SDN di Cawang Baru, Jakarta Timur, misalnya, setiap pagi banyak sepeda motor yang berhenti dan parkir di halaman sekolah itu hanya untuk menurunkan anak-anak sekolah. Ada yang dibonceng ayah, ibu, kakak, dll. Padahal, rumah murid sekolah itu hanya ada di lingkungan radius 1 Km. Bahkan, tidak jarang anak-anak itu, ada yang diantar ibunya, naik mikrolet untuk jarak bilangan di bawah 300 meter. Selain motor bensin banyak pula orang tua yang mengantar anaknya dengan sepeda listrik.
Motor di Desa
Kondisi itu menunjukkan anak-anak tidak lagi berjalan kaki yang mempengaruhi kebugaran anak-anak. Pada gilirannya bisa terjadi gangguan konsentrasi ketika mengikuti pelajaran di kelas.
Tidak hanya di kota, nun di desa pun berjalan kaki nyaris ditinggalkan. Kepemilikan sepeda pun sudah rendah karena sangat mudah membeli sepeda motor yang hanya dengan uang muka di bawah Rp 500.000.
Maka, ketika dahulu petani menggenjot sepeda dan berjalan kaki sambil membawa cangkul ke ladang atau sawah, sekarang mereka naik motor. Begitu juga dengan hasil pertanian, seperti padi, ubi, dll. Dahulu dibawa dengan sepeda yang didorong. Sekarang hasil bumi naik motor.
Kajian peneliti tadi menunjukkan setiap hari orang-orang di Hong Kong berjalan kaki sebanyak 6.880 langkah yang menempatkan mereka pada urutan teratas daftar penduduk dunia yang paling rajin berjalan kaki. Sedangkan orang yang paling malas berjalan kaki dipegang oleh orang Indonesia yang hanya melangkah 3.513 langkah setiap hari.
Peneliti juga terkejut karena menemukan fakta bahwa ada kesenjangan antara yang rajin beraktivitas dengan yang paling malas bergerak. Mereka menemukan faktor yang mempengaruhi kesenjangan ini yaitu karena kegiatan-kegiatan yang berbasis gender (perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan struktur sosial).
Maka, kian besar kesenjangan aktivitas di satu negara, makin besar pula taraf kegemukan (obesitas) warga. Tim Althoff, salah seorang peneliti, memberikan contoh Swedia dengan celah perbedaan yang sempit. Hasilnya, Swedia merupakan negara dengan taraf obesitas terendah. Di negara dengan kesejangan yang sempit dan obesitas rendah laki-laki dan perempuan sama rajin dalam berolahraga.
Sebaliknya, di negara-negara dengan kesenjangan yang lebar dan pengaruh gender, seperti Amerika Serikat dan Arab Saudi, perempuan justru lebih sedikit menghabiskan waktu beraktivitas di luar kerja rutin mereka di rumah.
Peneliti lain, Jure Leskovec, mengatakan ketika kesenjangan aktivitas lebar kegiatan perempuan berkurang jauh jika dibandingkan dengan kegiatan pria. Kondisilah, menurut Leskovec, yang membuat obesitas lebih berpengaruh pada perempuan.
Obesitas dan aktivitas yang rendah juga menjadi bumerang karena bisa berujung pada penyakit gula (diabetes). Direktur Institut Diabetes Indonesia (INDINA), Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPd-KEMD, FACE, mengatakan, di era modern ini juga membuat orang yang tinggal di desa rentan terkena diabetes (Diabetes Juga Penyakit Ancaman Orang Pedesaan, kompas.com, 29/4-2016). Kata Sidarta: "Dulu, mereka mau ke sawah jalan kaki, sekarang naik sepeda motor. Makan tetap banyak, tetapi aktivitas fisik semakin berkurang."
Ketika saya sekolah di SMP di Kota Sukabumi, Jawa Barat, akhir tahun 1995-an, tiap pagi berjalan kaki sekitar 1 Km. Sekarang sudah ada angkot (angkutan kota), motor dan ojek yang lewat sekolah itu sehingga anak-anak pun tidak lagi berjalan kaki ke sekolah.
Ramah Pejalan Kaki
Sebuah laporan singkat menyebutkan bahwa kota-kota di Amerika Serikat yang ramah terhadap pejalan kaki kerap memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Warganya juga lebih berpindidikan (Apakah pejalan kaki lebih cerdas dari orang yang memilih naik kendaraan?, BBC, 5/9-2016).
Salah seorang peneliti yang tergabung dalam badan advokasi masalah tata kota, Smart Growth America, Christipher Leinberger, Fakultas Bisnis, Universitas George Washington, mengungkapkan, daerah yang ramah pejalan kaki, "Memilih jumlah warga cerdas sepertiga kali lebih banyak dibandingkan yang ramah pengemudi." Namun, dia tidak tahu apakah tempat yang ramah pejalan kaki menarik orang yang lebih berpendidikan, atau orang yang berpendidikanlah yang pindah ke suatu kota yang kemudian menjadi ramah pejalan kaki.
Persoalan besar di kota-kota besar dan kecil di Indonesia adalah trotoar yang tidak memadai. Ada trotoar yang dijadikan tempat berjualan, jadi tempat parkir mobil dan motor, dipakai pemotor, dll. Bahkan, di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ada pos polisi di trotoar.
Berbeda dengan negara lain, sebut saja Singapura dan Malaysia, yang menyediakan trotoar yang nyaman sehingga berjalan kaki pun tidak lagi terganggu.
Sudah saatnya pemerintah menggaungkan "Gerakan Nasional Berjalan Kaki", misalnya bagi murid-murid sekolah, mahasiwa dan pegawai yang jarak ke kantor di bawah 5 Km dianjurkan jalan kaki. Tentu setelah menyiapkan trotoar dan tempat-tempat penyebarangan yang aman.
Selain memicu obesitas yang berujung ke diabetes, kurang beraktivitas juga akan membuat kebugaran rendah yang pada gilirannya mempengaruhi kesiapan memerima pelajaran dan mengerjakan tugas kantor. Ahli-ahli kesehatan menyebutkan setiap hari minimal harus berjalan kaki 10.000 langkah. Kalau satu meter dua atau tiga langkah, itu artinya setiap hari minimal harus berjalan kaki antara 3-5 Km. Ada juga pendapat bisa disubtitusi dengan berjalan kaki atau jogging dua kali seminggu masing-masing 90 menit.
Mari, kita mulai berjalan kaki untuk kebugaran dan kesehatan fisik. Mens sana in corpore sano: dalam jiwa yang sehat, tubuh akan sehat dan sebaliknya.*
Komentar