Atasi Konstipasi pada Anak
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak dan balita bisa mengalami konstipasi alias kesulitan buang air besar. Jika ini terjadi, Anda tak perlu panik berlebihan, tapi jangan pula mengabaikan. Berikut kiat atasi konstipasi anak dari para pakar.
Sudah tiga hari Anto mengeluh tak bisa buang air besar. Bocah berusia empat tahun ini hanya bisa menangis kala rasa mulas mulai mendera, apalagi jika ia harus nongkrong berlama-lama di toilet tanpa berhasil membuang hajatnya. Seisi rumah ikut pusing dengan masalah yang dialami Anto. Akhirnya, sang bunda berinisiatif membawa Anto ke dokter anak.
Sebenarnya, bukan hal aneh ketika konstipasi atau susah buang air besar dialami si kecil. Prevalensi konstipasi atau sembelit pada anak memang cukup besar, khususnya anak usia 2-6 tahun.
Kondisi seperti apa yang bisa kita golongkan sebagai konstipasi? Menurut Dr. Badriul Hegar, Ph.D., Sp.A(K), Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI) RSCM, anak disebut mengalami konstipasi bila memenuhi dua dari berbagai kriteria berikut: buang air besar kurang dari dua kali dalam seminggu, teraba benjolan tinja pada perut kiri bagian bawah, tinja keras dan kering, tinja keluar besar-besar atau kecil-kecil seperti kotoran kambing, dan kecepirit, yaitu tinja keluar tanpa terasa dan mengotori celana dalam.
Sementara itu, menurut Dr. Frieda Handayani, Sp.A, dari RS Evasari, ada dua aspek batasan konstipasi pada anak, yaitu frekuensi dan konsistensi. Dari segi frekuensi, konstipasi terjadi saat buang air besar (BAB) kurang dari tiga kali seminggu. Dari segi konsistensi, bentuk tinja lebih keras. Pasien sendiri biasanya mengeluh nyeri saat buang air besar.
"Frekuensi normal BAB pada anak tergantung usia. Dibawah usia satu tahun bervariasi, bisa satu sampai enam kali per hari. Sementara itu, diatas tiga tahun biasanya sekali sehari," kata Dr. Frieda.
Gejalanya, menurut Dr. Hegar, adalah frekuensi BAB yang berkurang. Jika tadinya setiap hari, kini menjadi beberapa hari sekali. Atau, anak sering mengejan tetapi tidak segera diikuti keluarnya tinggi.
"Bila sudah berlangsung lama, anak yang sudah agak besar sering mencari tempat di pojokan bila akan BAB. Bila tinja keras, tidak jarang setiap BAB diikuti darah yang umumnya disebabkan oleh robekan di sekitar anus. Pada kasus yang sudah kronis, anak sering mengalami kecepirit yang mengotori celana. Jelas, semua gejala ini akan membuat anak merasa tidak nyaman," papar Dr. Hegar.
"Gejala konstipasi yang khas adalah sering mengeluh nyeri saat BAB, mual, dan jadi uring-uringan," Dr. Frieda menambahkan.
Menurut Dr. Hegar, 90 persen konstipasi pada anak bukan disebabkan kelainan pada organ, melainkan faktor fungsional, misalnya akibat trauma setiap akan BAB. "Anak di berbagai usia bisa mengalami konstipasi, sangat bergantung dari penyebabnya," katanya.
Sementara itu, menurut Dr. Frieda, 90-95 persen pemicu konstipasi adalah diet yang tidak benar, yaitu kurangnya serat dan asupan air putih. "Konstipasi pada anak juga bisa dipicu toilet training yang gagal, ketika orangtua tak mampu mengajarkan anak yang sudah waktunya buang air besar sendiri," tegas Dr. Frieda.
Sebagian besar kasus konstipasi diawali oleh anak yang menahan BAB, misalnya karena WC sekolah yang kotor, anak sedang ikut dalam perjalanan yang tidak memungkinkan untuk BAB, atau makanan yang menyebabkan tinja keras sehingga anak sulit BAB.
"Kasus lain dalam jumlah kecil adalah faktor penyebab organik, seperti kelainan persarafan di usus, yakni sekitar 5-10 persen," tegas Dr. Frieda.
Mengapa menahan buang air besar itu tidak baik?
"Makin lama tinja tertahan, ia akan makin sulit dikeluarkan. Pada tinja yang terlalu lama di dalam usus besar, kandungan airnya akan diserap oleh anak. Ini mengakibatkan tinja menjadi kering dan sulit dikeluarkan," beber Dr. Frieda.
"Begitu pula dampak pada usus. Semakin banyak tinja tertahan, semakin melebar usus besarnya. Bila terlalu besar sensitivitas usus berkurang sehingga tidak merasa ingin BAB meski sudah beberapa minggu tidak BAB," kata Dr. Frieda.
Memang, bagaimana sih, proses normal BAB? Begini seperti penjelasan Dr. Frieda. Awalnya, dinding usus besar akan meregang karena ada massa tinja di dalamnya. Regangan dinding usus tersebut menimbulkan refleksi di usus, yakni refleks relaksasi dari katup anus di bagian dalam. Ini akan direspons oleh katup anus di bagian luar.
Selanjutnya, saat melakukan BAB, katup anus luar dan otot-otot sekitarnya akan melakukan relaksasi sehingga otot bisa terbuka dan jalan mulus bagi tinja untuk keluar. Dibantu dengan mengejan yang akan meningkatkan tekanan didalam perut, konstraksi rektum atau otot usus yang mendekati anus akan mendorong tinja keluar.
"Pada keadaan normal, kita punya persarafan sensor di daerah anus yang memberi tahu tinjanya mau keluar atau belum, tinjanya padat atau cair, atau hanya buang angin. Ada persarafan yang memberi tahu secara otomatis ke otak. Nah, pada anak dengan konstipasi, kadang ada luka di sekitar anus, dan luka itulah yang membuat dia takut untuk BAB. Dia berusaha menahan supaya tidak sakit, tapi menahan lebih lama malah menyebabkan BAB nya jadi semakin kronis dan parah," jelas Dr. Frieda.
Karena itu, menurut Dr. Hegar, toilet training pada anak amat penting dilakukan. "Untuk anak usia diatas usia tiga tahun, sebaiknya lakukan toilet training, yakni dengan meminta anak duduk di toilet selama 5-10 menit segera setiap habis makan," jelasnya.
"BAB tidak boleh ditahan. Kalau memang mau BAB bantu anak ke toilet. Biarkan dia rileks selama 5-10 menit sampai bisa mengeluarkan tinja. Jangan diburu-buru. Hal ini bisa Anda jadikan rutinitas, misalnya setiap habis sarapan setelah makan malam,' tandas Dr. Frieda.
Kedua pakar ini sependapat bahwa penanganan konstipasi pada anak harus dilakukan dengan diet yang benar.
"Perbanyak minum air, konsumsi buah dan sayuran," saran Dr. Frieda. "Banyak-banyaklah makan buah yang tinggi kandungan air dan seratnya, seperti semangka, pepaya, melon, apel, dan pir. Intinya, jaga pola diet sehat "
Selain pola makan, Dr. Frieda menyarankan agar anak memperbanyak aktivitas fisik mereka sehingga otot usus jadi lebih aktif." Hindari stres. Biasanya stres psikologis pada anak bisa menyebabkan konstipasi. Kalau konstipasi sudah berlangsung selama dua minggu, segera bawa ke dokter," tegas.
"Bila keluhan baru berlangsung mingguan, pemberian minum dan makanan berserat umumnya masih efektif. Bila keadaan sudah berlangsung bulanan, maka perlu mendapat obat pencahar yang diminum secara rutin sampai tinja lunak dan frekuensi buang air besar berlangsung paling tidak dua hari sekali," jelas Dr. Hegar.
Ia mengingatkan bahwa untuk pemakaian obat pencahar ini harus dalam pengawasan dokter. "Banyak jenis pencahar di pasaran. Penentuan jenis obat harus berdasarkan petunjuk dokter," pungkas Dr. Hegar.
Komentar