Apakah itu Mitomania?
Seberapa sering Anda berbohong? Waspadai jika bohong telah menjadi patologis dan dilakukan tanpa disadari.
Kita berbohong untuk berbagai alasan.
Salah satunya adalah tampil sempurna dan nenuai pujian di mata orang lain. Atau, kita berbohong sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Tentu, yang berbahaya adalah saat bohong lantas dianggap "normal".
"Selama individu menyadari kebohongan yang dilakukan dan paham alasannya berbohong, hal tersebut masih dapat dianggap suatu kewajaran," ujar Amanda Octacia Sjam, M.Psi., psikolog klinis dari Santosa Hospital Bandung Central.
"Namun, jika kebohongan sudah menjadi pola menetap dan dilakukan secara tidak sadar, maka itu sudah menjadi kebohongan patologis," tandas Amanda.
Inilah kerennya: mitomania.
Amanda menjelaskan bahwa mitomania adalah kebohongan yang dilakukan seseorang bukan dengan tujuan menipu orang lain.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada 1905 oleh psikiater asal Perancis bernama Ferdinand Dupre. Menurut Dupre, penderita gangguan mitomania akan membuat dirinya sendiri percaya bahwa kebohongan yang dilakukannya adalah nyata.
Kecenderungan ini mulai muncul pada individu usia 16 tahun dengan taraf kecerdasan rata-rata atau bahkan lebih. Penderita juga sering kali menunjukkan keterampilan verbal yang baik, berbanding terbalik dengan kemampuan performanya.
Apa beda mitomania dan kebohongan "biasa"?
"Penderita mitomania sering kali tidak sadar bahwa dia sebenarnya sedang berbohong. Dia menceritakan khayalan di dalam kepalanya seakan-akan hal tersebut adalah nyata," jelas Amanda.
Saat bercerita, individu tersebut bisa sangat meyakinkan dan memberi kesan bahwa dirinya adalah pribadi positif yang sempurna. Sebaliknya, kebohongan "biasa" akan membuat seseorang tampak kaku, canggung, dan salah tingkah.
"Kebohongan yang dilakukan seorang penderita mitomania cenderung di luar kesadaran. Artinya, dia tidak sadar bahwa orang lain akan merasa terganggu dengan kebohongannya," papar Amanda.
Ini karena yang terpenting baginya adalah mendapat pengakuan dari sekeliling terhadap kenyataan yang ingin ia wujudkan, demi meletakkan dirinya dari kenyataan sebenarnya yang tidak ingin ia terima.
Penjelasan senada disampaikan Irene Raflesia, M.Psi., Psikolog, dari Klinik Pelangi Cibubur.
"Mitomania merupakan kecenderungan psikologis seseorang dalam merancang, melebih-lebihkan, dan mengungkapkan informasi yang tidak benar secara berulang-ulang atau kompulsif," ujar Irene. "Ia kerap membual sampai titik di mana ia mempercayai kebohongan yang diungkapkan sendiri."
Menurut Irene, orang yang berbohong biasanya memiliki tujuan. Kebohongan dilakukan untuk memperoleh keuntungan eksternal berupa perhatian, atau untuk menghindari hukuman. Pada dasarnya, kebohongan dilandasi tujuan untuk melindungi diri dari situasi yang tidak dikehendaki.
Sebaliknya, individu dengan mitomania kerap berbohong tanpa dilandasi motivasi tertentu. Isi kebohongan umumnya menceritakan sesuatu yang luar biasa, walau masih dalam batas masuk akal. Sering kali, sang pencerita menempatkan posisi sebagai pahlawan maupun korban.
Apa yang menyebabkan mitomania?
Salah satunya adalah kegagalan dalam hidup, seperti dalam studi, masa kecil, masalah keluarga, atau pekerjaan.
"Singkatnya, ia ingin melarikan diri dari image tentang dirinya sendiri. Jadi, semakin orang lain mempercayai kebohongannya, semakin ia terbantu untuk lepas dari image tentang dirinya yang sulit ia terima," ungkap Amanda.
Menurutnya, orang yang memiliki konsep diri negatif lebih berisiko menjadi mitomania. Ini karena mereka cenderung memiliki persepsi yang buruk tentang dirinya sendiri, sehingga secara tidak sadar akan "membenci" dan "menolak" dirinya sendiri.
"Karena itulah mereka harus berbohong, yakni demi menciptakan image baru yang dianggap lebih positif. Namun, karena pola tersebut dilakukan berulang, mereka pun menjadi pembohong patologis yang selalu terdorong untuk berbohong," jelas Amanda.
Penderita mitomania juga umumnya memiliki masalah dengan harga diri, yang lantas mendorongnya untuk mencari perhatian atau pengakuan.
"Ia memandang kebohongan sebagai upaya untuk membuat diri merasa lebih baik. Kebohongan yang berulang menciptakan ilusi bahwa seseorang berhasil menutupi kekurangannya, sehingga hal ini membuatnya lebih percaya diri," jelas Irene.
"Perilaku ini umumnya dilandasi oleh kurangnya kemampuan dalam mengatasi masalah dengan cara yang lebih dewasa, sehingga kebohongan kerap dipandang sebagai solusi," tandasnya lagi. "Walau tampaknya ada manfaat eksternal yang diperoleh melalui kebohongan, keuntungan ini sering kali dianggap tidak sebanding dan tidak masuk akal."
"Karakteristik inilah yang membuat para ahli meyakini bahwa perilaku bohong pada individu dengan mitomania dilakukan untuk memuaskan kepentingan pribadi. Manfaat yang diperoleh pun bersifat internal, beda dengan kebohongan umum yang dilakukan untuk memperoleh manfaat eksternal," papar Irene.
Tentu, perilaku berbohong kompulsif bukan perilaku yang umum dan dapat ditoleransi. Namun, para ahli belum menyepakati apakah hal ini tergolong kebiasaan buruk, gangguan psikologis, atau bagian dari kepribadian seseorang.
Banyak aspek perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah seseorang mengalami mitomania.
Pemeriksaan perlu dilakukan secara komprehensif agar dapat memperoleh gambaran klinis tentang kepribadian dan riwayat kebohongan, khususnya informasi dari pihak-pihak yang terlibat.
Yang pasti, perilaku berbohong kompulsif membawa dampak buruk, baik pada individu maupun lingkungan sekitar. Misalnya, kesulitan menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosialnya.
Selama kebohongan berlangsung, individu sebenarnya merasa tertekan karena dia harus mengingat bualan informasi yang dirancang dan menjaga agar kebohongan tidak ketahuan. Lingkungan pun kehilangan kepercayaan terhadap individu tersebut.
Ketika si mitomaniak berhasil menjerat kita, kata Amanda, sedikit demi sedikit kebohongannya akan mengganggu sistem kepercayaan dan keyakinan diri kita.
"Bahkan rasa percaya paling kokoh pun akan guncang, dan kita mulai percaya pada image baru yang dia buat serta perlahan meninggalkan kenyataan yang sesungguhnya," ujar Amanda.
"Ketika kita mulai menyadari kebohongannya, awalnya ia akan mengelak, kadang disertai kemarahan. Kemudian, ia akan memanipulasi lagi dari awal dengan tetap pada kebohongan yang sama," jelasnya lagi.
"Semakin kita mempertanyakan kebohongannya, semakin banyak kebohongan yang ia ciptakan karena pada titik ini, ia sadar telah berbohong dan akan semakin lepas kendali," tambah Amanda.
Kunci keberhasilan dari intervensi psikologis terletak pada kesadaran individu.
Menurut Amanda, hal terbaik yang bisa dilakukan jika menjumpai seseorang mitomaniak adalah menghindarinya. Jika ingin menolong, yakinkan mereka untuk menyembuhkan diri sendiri.
"Ia harus menyadari permasalahannya, mengakuinya, dan memiliki keinginan kuat untuk sembuh," tandas Amanda. "Lantas, ajaklah ia menemui psikolog atau psikiater."
Bentuk terapi akan tergantung pada pendekatan setiap ahli. Sebagai brainspotting practioner, target Amanda ketika menghadapi penderita mitomania adalah melakukan emotional and trauma healing terhadap akar masalah yang sesungguhnya.
"Diharapkan, healing secara emosional lambat laun akan mengurangi gejala-gejala yang akan muncul, seperti perilaku berbohong," pungkas Amanda.
Tiga Kiat Hadapi Mitomania
* Pertama, pastikan Anda memikirkan secara matang apa yang akan Anda sampaikan kepadanya. Tujuan Anda adalah membuat individu mendengarkan pendapat Anda, sehingga Anda sebaiknya menggunakan pendekatan yang dapat membuat ia menerima.
* Kedua, bicarakan masalah dengan menyajikan bukti-bukti yang kuat. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa perilaku berbohong ini menjadi masalah yang perlu dihadapi.
* Ketiga, berilah waktu untuk individu agar mengubah perilakunya. Jika diperlukan, Anda dapat menyarankan untuk mengikuti konseling.
Kita berbohong untuk berbagai alasan.
Salah satunya adalah tampil sempurna dan nenuai pujian di mata orang lain. Atau, kita berbohong sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Tentu, yang berbahaya adalah saat bohong lantas dianggap "normal".
"Selama individu menyadari kebohongan yang dilakukan dan paham alasannya berbohong, hal tersebut masih dapat dianggap suatu kewajaran," ujar Amanda Octacia Sjam, M.Psi., psikolog klinis dari Santosa Hospital Bandung Central.
"Namun, jika kebohongan sudah menjadi pola menetap dan dilakukan secara tidak sadar, maka itu sudah menjadi kebohongan patologis," tandas Amanda.
Inilah kerennya: mitomania.
Amanda menjelaskan bahwa mitomania adalah kebohongan yang dilakukan seseorang bukan dengan tujuan menipu orang lain.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada 1905 oleh psikiater asal Perancis bernama Ferdinand Dupre. Menurut Dupre, penderita gangguan mitomania akan membuat dirinya sendiri percaya bahwa kebohongan yang dilakukannya adalah nyata.
Kecenderungan ini mulai muncul pada individu usia 16 tahun dengan taraf kecerdasan rata-rata atau bahkan lebih. Penderita juga sering kali menunjukkan keterampilan verbal yang baik, berbanding terbalik dengan kemampuan performanya.
Apa beda mitomania dan kebohongan "biasa"?
"Penderita mitomania sering kali tidak sadar bahwa dia sebenarnya sedang berbohong. Dia menceritakan khayalan di dalam kepalanya seakan-akan hal tersebut adalah nyata," jelas Amanda.
Saat bercerita, individu tersebut bisa sangat meyakinkan dan memberi kesan bahwa dirinya adalah pribadi positif yang sempurna. Sebaliknya, kebohongan "biasa" akan membuat seseorang tampak kaku, canggung, dan salah tingkah.
"Kebohongan yang dilakukan seorang penderita mitomania cenderung di luar kesadaran. Artinya, dia tidak sadar bahwa orang lain akan merasa terganggu dengan kebohongannya," papar Amanda.
Ini karena yang terpenting baginya adalah mendapat pengakuan dari sekeliling terhadap kenyataan yang ingin ia wujudkan, demi meletakkan dirinya dari kenyataan sebenarnya yang tidak ingin ia terima.
Penjelasan senada disampaikan Irene Raflesia, M.Psi., Psikolog, dari Klinik Pelangi Cibubur.
"Mitomania merupakan kecenderungan psikologis seseorang dalam merancang, melebih-lebihkan, dan mengungkapkan informasi yang tidak benar secara berulang-ulang atau kompulsif," ujar Irene. "Ia kerap membual sampai titik di mana ia mempercayai kebohongan yang diungkapkan sendiri."
Menurut Irene, orang yang berbohong biasanya memiliki tujuan. Kebohongan dilakukan untuk memperoleh keuntungan eksternal berupa perhatian, atau untuk menghindari hukuman. Pada dasarnya, kebohongan dilandasi tujuan untuk melindungi diri dari situasi yang tidak dikehendaki.
Sebaliknya, individu dengan mitomania kerap berbohong tanpa dilandasi motivasi tertentu. Isi kebohongan umumnya menceritakan sesuatu yang luar biasa, walau masih dalam batas masuk akal. Sering kali, sang pencerita menempatkan posisi sebagai pahlawan maupun korban.
Apa yang menyebabkan mitomania?
Salah satunya adalah kegagalan dalam hidup, seperti dalam studi, masa kecil, masalah keluarga, atau pekerjaan.
"Singkatnya, ia ingin melarikan diri dari image tentang dirinya sendiri. Jadi, semakin orang lain mempercayai kebohongannya, semakin ia terbantu untuk lepas dari image tentang dirinya yang sulit ia terima," ungkap Amanda.
Menurutnya, orang yang memiliki konsep diri negatif lebih berisiko menjadi mitomania. Ini karena mereka cenderung memiliki persepsi yang buruk tentang dirinya sendiri, sehingga secara tidak sadar akan "membenci" dan "menolak" dirinya sendiri.
"Karena itulah mereka harus berbohong, yakni demi menciptakan image baru yang dianggap lebih positif. Namun, karena pola tersebut dilakukan berulang, mereka pun menjadi pembohong patologis yang selalu terdorong untuk berbohong," jelas Amanda.
Penderita mitomania juga umumnya memiliki masalah dengan harga diri, yang lantas mendorongnya untuk mencari perhatian atau pengakuan.
"Ia memandang kebohongan sebagai upaya untuk membuat diri merasa lebih baik. Kebohongan yang berulang menciptakan ilusi bahwa seseorang berhasil menutupi kekurangannya, sehingga hal ini membuatnya lebih percaya diri," jelas Irene.
"Perilaku ini umumnya dilandasi oleh kurangnya kemampuan dalam mengatasi masalah dengan cara yang lebih dewasa, sehingga kebohongan kerap dipandang sebagai solusi," tandasnya lagi. "Walau tampaknya ada manfaat eksternal yang diperoleh melalui kebohongan, keuntungan ini sering kali dianggap tidak sebanding dan tidak masuk akal."
"Karakteristik inilah yang membuat para ahli meyakini bahwa perilaku bohong pada individu dengan mitomania dilakukan untuk memuaskan kepentingan pribadi. Manfaat yang diperoleh pun bersifat internal, beda dengan kebohongan umum yang dilakukan untuk memperoleh manfaat eksternal," papar Irene.
Tentu, perilaku berbohong kompulsif bukan perilaku yang umum dan dapat ditoleransi. Namun, para ahli belum menyepakati apakah hal ini tergolong kebiasaan buruk, gangguan psikologis, atau bagian dari kepribadian seseorang.
Banyak aspek perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah seseorang mengalami mitomania.
Pemeriksaan perlu dilakukan secara komprehensif agar dapat memperoleh gambaran klinis tentang kepribadian dan riwayat kebohongan, khususnya informasi dari pihak-pihak yang terlibat.
Yang pasti, perilaku berbohong kompulsif membawa dampak buruk, baik pada individu maupun lingkungan sekitar. Misalnya, kesulitan menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosialnya.
Selama kebohongan berlangsung, individu sebenarnya merasa tertekan karena dia harus mengingat bualan informasi yang dirancang dan menjaga agar kebohongan tidak ketahuan. Lingkungan pun kehilangan kepercayaan terhadap individu tersebut.
Ketika si mitomaniak berhasil menjerat kita, kata Amanda, sedikit demi sedikit kebohongannya akan mengganggu sistem kepercayaan dan keyakinan diri kita.
"Bahkan rasa percaya paling kokoh pun akan guncang, dan kita mulai percaya pada image baru yang dia buat serta perlahan meninggalkan kenyataan yang sesungguhnya," ujar Amanda.
"Ketika kita mulai menyadari kebohongannya, awalnya ia akan mengelak, kadang disertai kemarahan. Kemudian, ia akan memanipulasi lagi dari awal dengan tetap pada kebohongan yang sama," jelasnya lagi.
"Semakin kita mempertanyakan kebohongannya, semakin banyak kebohongan yang ia ciptakan karena pada titik ini, ia sadar telah berbohong dan akan semakin lepas kendali," tambah Amanda.
Kunci keberhasilan dari intervensi psikologis terletak pada kesadaran individu.
Menurut Amanda, hal terbaik yang bisa dilakukan jika menjumpai seseorang mitomaniak adalah menghindarinya. Jika ingin menolong, yakinkan mereka untuk menyembuhkan diri sendiri.
"Ia harus menyadari permasalahannya, mengakuinya, dan memiliki keinginan kuat untuk sembuh," tandas Amanda. "Lantas, ajaklah ia menemui psikolog atau psikiater."
Bentuk terapi akan tergantung pada pendekatan setiap ahli. Sebagai brainspotting practioner, target Amanda ketika menghadapi penderita mitomania adalah melakukan emotional and trauma healing terhadap akar masalah yang sesungguhnya.
"Diharapkan, healing secara emosional lambat laun akan mengurangi gejala-gejala yang akan muncul, seperti perilaku berbohong," pungkas Amanda.
Tiga Kiat Hadapi Mitomania
* Pertama, pastikan Anda memikirkan secara matang apa yang akan Anda sampaikan kepadanya. Tujuan Anda adalah membuat individu mendengarkan pendapat Anda, sehingga Anda sebaiknya menggunakan pendekatan yang dapat membuat ia menerima.
* Kedua, bicarakan masalah dengan menyajikan bukti-bukti yang kuat. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa perilaku berbohong ini menjadi masalah yang perlu dihadapi.
* Ketiga, berilah waktu untuk individu agar mengubah perilakunya. Jika diperlukan, Anda dapat menyarankan untuk mengikuti konseling.
Komentar